Sabtu, 16 Maret 2013

BELAJAR MENTERJEMAHKAN PRASASTI (PART 1)



101. Prasasti Srokodan (Prasasti Bali I, R. Goris)

I.                   1.   Kamu     (sekalian)   harus  tahu   pejabat  sarwwa  bernama     Talaga,   pejabat  dingānga
      bernama    Cakra,     juru    tulis     kerajaan   bernama   Nanda,    Astra   dan   Yajñā,  yang
      menjadi pikiranku yaitu penduduk Desa
2.   di Sadungan makablah menteri kehutanan, hancur kacau balau kanakanña, itulah sebab perintahku yaitu katdhasan menteri
3.  kehutanan, krtyanangan (kewenangan?) tugas menteri kehutanan, gotong royong mengangkat kayu bambu, pekerjaan nyata baik yang besar maupun yang seni (halus), pamahen pembeli
4.      prakāra, simayangña hingga sungai air sangsang di sebebelah timur, hingga padang rumput kahiruan di sebelah selatan, hingga sungai air malangit di sebelah
5.      barat, hingga batas desa Sadungan dan perbatasan disebelah utara, itu ukuran pengairannya (subak?) setiap 1 pi pembayarannya, tidak kadan (disebut?) kr
6.      tyaña setiap jāng, balai terbuka ana (jika/untuk?) yang mendapat kesusahan yaitu 2 mas maٕçaka pembelian darah 1 māçaka jika ada manglarangin di balai terbuka 1 māçaka
7.      pembelian darah 4 pi dandyan 4 pi pangrhön di kebun rambutan tidak dikenai yaitu tempat ibadah suddhaña 4  mas maٕçaka setiap bulan māgha, tidak
8.      dikenakan pembelian permintaan prakāra (masalah?), pada pejabat dingānga, pemelihara haçwa (kuda?) mās 2 pi supaya dibawanya kepada pejabat dingānga supaya menghaturkanya
9.      kepada Raja, tidak diberikan pahenya (pembayaran?) prakāra (masalah?), ikut sahayaña (semuanya?) jāng, tidak papagaran (dipagar) tidak pemelihara hewan tidak  pamurian,
10.  tidak pembuat dangdang (alat dapur), jika ada penduduk yang berumah disitu, upacara kematian dikenai 4 mās maٕçaka keturunannya setiap orang, supaya
11.  dibawanya kepada pejabat dingānga supaya menghaturkanya kepada Raja, tĕmuan pejabat dingānga 4 pi tĕmuan penduduk desa 2 pi jika ada keluarga yang mawalu (=balu=tidak menikah?)
12.  parāden padangayanña, dijunjung ditanggung ūlihangan umatur miliknya lelaki dibagi dua persembahannya, perempuan

II        1. Dibagi satu persembahannya, jika ada keluarga yang tidak memiliki keturunan, seluruhnya yang ada padangayanña yawaña (anak muda?) bertempat tinggal disitu, emas perak bejana perunggu,
2.   bejana/sangku,  budak rwwang (jurang?), kebo sapi, harganya 4 maٕçaka yang diambilnya marhantu ya, seçaña jāng supaya dibawanya kepada pejabat dingānga supaya
3.   menghaturkanya kepada Raja, tĕmuan pejabat dingānga 4 pi tĕmuan penduduk desa 2 pi tetapi jika ada penduduk dari luar tanah mengerjakan ladang
4.   disitu, jika takkanña ya pangrāma, 2 mās pi setiap orang, atmuang atmuang (masing-masing?), tidak dikenakan di parawuluwulu (prakāra ta)
5.   ni dipunguti sebanyak yubuhña jang disitu, tidak ūlahulahan ūlih pejabat nāyaka jāng dan penduduk desa,(----------)
6.   an masuk diganti, dan masalah pajak tanah, tidak diikutkan maphalli martaruh ma(wa)candana, tetapi kemampuan palabampangu
7.   n tidak diributkan di pejabat dingānga dan caksuña, dan jika kapamadayanya di milik raja sebanyak kapadapanña, 2 mās pi
8. wayaranña, tidak pawryan mangamah pada pejabat caksu paracaksu salyuña mangbharen di situ, wahai anggota persidanganku yang tidak dapat untuk penduduk matkap di surih permainan judi luar dan dyangça sadyayadya, dyangça krangan, nāyakan makarun (pimpinan pejabat yang mengurus masyarakat yang telah berumah tangga) bernama tuhañjawa, nāyakan candana (pimpinan pejabat yang mengurusi kayu cendana), uraña hataruh, makasupratiwaddha, sanggarugyan ya perintah Sang Ratu Çri Ūgrasenā, dijunjung nāyakan makarun bernama (Kulang)Kaling, turun di panglapuan di Singhamandawa, pada bulan asāda, krsna daçami, ketika hari pasaran kajeng tahun saka 837 kilagiña di pontangin ājñā.

Sabtu, 03 November 2012


SINOPSIS
BABAD PASEK
JILID II
( JRO MANGKU GDE KTUT SOEBANDI )


Babad Pasek Jilid I maupun Jilid II menguraikan tentang aspek genealogis dari Sapta Pandita atau Sapta Rsi (Maha  Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi). Khusus pada Babad Pasek Jilid II menguraikan tentang keturunan 3 dari 7 Mpu yang merupakan Sanak Sapta Rsi yaitu Mpu Ketek, Mpu Kananda, dan Mpu Wiradnyana serta perkembangan dari keturunan-keturunan beliau.
Sang Sapta Rsi berasal dari tanah Jawa yang taat terhadap nasehat leluhur, salah satu nasehat leluhur yang sangat ditaati oleh Mpu Ketek beserta adik-adiknya ialah selalu menyelenggarakan pujawali dan widhiwidhana di Pura Besakih Bali pada hari Purnama Sasih Kapat. Keberangkatan dari Jawa ke Bali melalui jalur laut dengan menggunakan perahu bernama Madhusudhana. Mpu Ketek beserta adik dan putra-putranya tiba di Bali tepatnya di Pantai Desa Padang pada hari Kamis Keliwon wara Warigadian, sasih Kasa, pananggal ping 7, tahun Saka 1088. Dalam babad diceritakan beberapa perjalanan Mpu Ketek sebelum akhirnya sampai serta melaksanakan pujawali dan widhiwidhana di Pura Besakih.
Sesudah selesai menyelenggarakan upacara pujawali dan widhiwidhana terhadap arwah suci leluhur dan Sang Hyang Widhi Wasa, para Mpu lalu mohon diri untuk kembali pulang ke Jawa. Selanjutnya tiap tahun para Mpu tersebut selalu kembali datang ke Bali untuk melakukan pujawali dan widhiwidhana. Pada sasih Kalima, pangelong ping 15, hari Rabu Keliwon wara Ugu tahun Saka 1111, Mpu Ketek diiringi oleh adik dan putra-putranya datang ke Bali melalui jalur darat. Suatu hari beliau sampai di Desa Kuntulgading (Kedisan) dan sesampainya disana disambut dengan baik oleh masyarakat Bali Aga.  Dalam perjamuannya Mpu Ketek mengucapkan terimakasih kepada masyarakat Bali Aga sekaligus beliau memberitahukan kepada masyarakat Bali Aga bahwa kedatangan beliau akan menyelenggaraakan upacara Panca Wali Krama di Pura Besakih sehingga masyarakat Bali Aga dinasehati agar membuat yadnya (korban suci) di masing-masing desa. Nasehat tersebut disambut baik oleh masyarakat Bali Aga dan mereka bersedia untuk melaksanakannya.
Pada saat kepulangan para Mpu kembali ke Pulau Jawa Sang Abra Sinuhun (Kawitan) sempat bersabda : “Anak-anak dan cucu-cucuku, tidak terhingga suka cita hatiku terhadap prilaku sekarang, benar-benar kamu selaku keturunanku melaksanakan dharma seperti yang aku nasehatkan dahulu. Kini aku menyampaikan nasehat Bhatara Tri Purusa, yakni janganlah kamu lupa sampai akhir jaman dengan tugas kewajiban, dan nasehatku ini supaya disampaikan juga kepada anak cucu piut keturunanmu. Supaya mereka tetap taat serta melaksanakan dharma sebagai seorang Pandita…”
I.       Keturunan Mpu Ketek
      Mpu Ketek menikah dengan putrinya Ki Aryya Padang Subadra, dan dari pernikahannya ini beliau berputra 2 orang laki-laki, yaitu yang sulung bernama Aryya Kapasekan, dan adiknya bernama Sanghyang Pamacekan.
      Dikisahkan Arrya Kapasekan kawin dengan Ni Swararika, sesudah berada di Bali berputra 2 orang laki-laki perempuan, masing-masing bernama Ni Luh Pasek dan Kyayi Agung Pamacekan. Seterusnya Kyayi Agung Pamacekan berputra seorang laki-laki bernama Kyayi Agung Pamacekan, sama dengan nama ayahnya yang kemudian kembali ke Jawa.
      Sang Hyang Pamacekan menikah dengan Dewi Dwararika yakni Putri Mpu Bahula, kemudian berputra 2 orang laki perempuan, yang sulung perempuan bernama Dewi Girinatha, dan adiknya laki-laki bernama Mpu Pamacekan. Disebutkan bahwa Kyayi Agung Pamacekan setelah pindah ke Bali, berputra 2 orang laki-laki, masing-maing bernama Pasek Denpasar di Gelgel dan Pasek Gelgel. Adapun Mpu Pamacekan di Jawa menikah dengan Ni Ayu Swani, kemudian berputra 3 orang laki perempuan, yang tertua bernama Arrya Kepasekan, yang kedua bernama Arrya Pamacekan yang sesudah dwijati (diksa) bergelar Mpu Jiwanatha, sedang yang bungsu perempuan bernama Ni Ayu Ler.
      Adapun Arrya Pamacekan menikah dengan Ni Swaradangkya, lalu berputra seorang laki-laki bernama Kyayi Gusti Agung Subadra. Seterusnya Kyayi Gusti Agung Subadra menikah dengan Luh Pasek yang kemudian berputra 2 orang laki-laki, yang sulung bernama Ki Pasek Tohjiwa, dan adiknya bernama Ki Pasek Padang Subadra.
      Oleh Raja Bali Sri Tapanulung yang dinobatkan pada tahun Saka 1246 (1324 M) bergelar Sri Gajah Waktra atau Sri Gajah Wahana diangkat Amancabhumi dengan tugas pengempon Pura Silayukti di Desa Padang. Sedang Ki Pasek Tohjiwa sebagai Amancabhumi berkedudukan di Kejiwa bergelar I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa, menguasai suatu daerah disebelah barat bukit Penyu dan disebelah timur Desa Bajing. Keputusan pengangkatai ini diambil dalam rapat di Gelgel, pada hari Senin Umanis, wara Sungsang tahun Saka 1257 (1335 M).
      Pada tahun Saka 1274 tatkala I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa ditunjuk sebagai wakil pimpinan perutusan Samplangan ke Tapurhyang Batur untuk mendamaikan pemberontakan orang-orang Bali Aga yang menentang pemerintahan Adipati Samplangan Sri Kreshna Kepakisan, disana I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa menikah dengan Luh Sadri puteri dari Ki Kayuputih salah seorang tokoh rakyat Bali Aga dan dari pernikahannya berputra 2 orang laki perempuan. Yang sulung perempuan bernama Luh Taru dan adiknya bernama Made Jaya. Selanjutnya dikisahkan perkembangan dari keturunan I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa.
      Kyayi Agung Pasek Padang Subadra di Desa Padang kawin dengan Ni Luh Pasekan dari Desa Perasi, kemudian berputra 5 orang laki-laki yaitu Ki Pasek Kurubadra, Ki Pasek Sadri lalu melakukan tapa bratha yoga semadhi di dalam hutan di pinggir sungai Malangit, kemudian sesudah pudgala (dwijati) bergelar Ki Dukuh Suladri sebagai pengempon Pura Dalem Suladri, Ki Pasek Sadra yang kemudian diangkat sebagai pimpinan desa Kusamba, Ki Pasek Tegalwangi dan yang bungsu bernama Ki Pasek Subratha bertempat tinggal di Banjar Juntal Desa Kubu.
      Di dalam sejarah perjalanan dan perkembangan keturunan Kyayi Agung Pasek Subadra, telah terjadi beberapa peristiwa penting, baik yang bersifat positif maupun negatif yang dialami oleh keturunan Kyayi Agung Pasek Subadra, mulai dari Ki Pasek Padang Subadra meninggalkan Tulamben, Gde Pasek Subratha sebagai Patih Kyayi Agung Dhimade, Luh Pasek menikah dengan I Gusti Wayan Yasa, Made Pasek Cedok diangkat menjadi Patih, hingga Gde Subratha ikut Pasek Gelgel di Desa Songan.

II.    Keturuanan Mpu Kananda
      Mpu Kananda menikah dengan putrinya Mpu Swethawijaya, kemudian berputra seorang laki-laki bernama Sang Kuldewa, sesudah pudgala (Dwijati) bergelar Mpu Swethawijaya, menggunakan nama yang sama dengan kakeknya dari pradhana (pihak perempuan). Selanjutnya Mpu Swethawijaya berputra 3 orang laki perempuan, masing-masing bernama Mangku Sang Kul Putih, Wira Sang Kulputih, dan yang bungsu perempuan bernama Ni Ayu Swami.
      Pada hari Senin Umanis, wara Sungsang, tahun Saka 1257 (1335 M) oleh Raja Bali Sri Gajah Waktra atau Sri Gajah Wahana, Wira Sang Kulputih diangkat menjadi pamangku di Pura Bhasakih, beliau diiringi oleh seorang sahaya bernama I Gotha. Wira Sang Kulputih berhasil menyusun ajaran Kapamangkuan yang diberi nama Lontar Kulputih, yang kemudian disebut Kulpetak. Setelah Wira Sang Kulputih pudgala (dwijati) bergelar Ki Dukuh Sorga atau Ki Dukuh Sorgga di banjar Sorgga Desa Sabudi.
      Ki Dukuh Sorga menurunkan 8 orang anak yaitu Pasek Dukuh di Ambengan banjar Badeg Desa Sabudi, Pasek Dukuh di Banjar Dadari Taman Bagendra Desa Sabudi, Pasek Dukuh di Banjar Bunoah Desa Ban, Pasek Dukuh di Banjar Purabukur Desa Sabudi, Pasek Dukuh di Banjar Batukaubelong Desa Ban, Pasek Dukuh di Banjar Sudaning Desa Bhasakih. Selanjutnya merekalah yang menurunkan Pasek yang disebut Pasek Sorga atau Pasek Sorgga di beberapa tempat di Bali.

III. Keturunan Mpu Wiradnyana
      Mpu Wiradnyana menikah dengan putri Mpu Panataran, kemudian berputra seorang laki-laki dan sesudah pudgala (dwijati) bergelar Mpu Wiranatha. Selanjutnya Mpu Wiranatha menikah dengan Dewi Amertha Manggali, lalu berputra 3 orang laki perempuan, yang sulung setelah pudgala (dwijati) bergelar Mpu Purwwanatha, yang kedua perempuan bernama Ni Ayu Wetan, yang bungsu juga perempuan bernama Ni Ayu Tirtha. Mpu Purwanatha kemudian berputra 2 orang laki perempuan, yang pertama laki-laki bernama Mpu Purwwa dan adiknya perempuan bernama Ken Dedes. Kemudian Mpu Purwwanatha dari Daha atau Kediri pindah ke Desa Panawijan, wilayah Tumapel bersama-sama dengan Mpu lainnya karena berasa dihina oleh Raja Kediri yaitu Sri Kerthajaya alian Sri Dangdanggenis. Sri Dangdanggenis bertahta di Kediri sekitar tahun Saka 1116 sampai dengan 1144 (1194-1222 Masehi).
      Salah satu ketururan kesekian dari Mpu Wiradnyana yaitu Ki Pasek Tartar diceritakan mempunyai keturunan bernama Ni Nyoman Rai Serimben yang secara niskala (gaib) ditunjuk oleh Bhatara yang dimuliakan dan dipuja (disungsung) di Pura Baleagung Buleleng yaitu fungsi spiritual yang berlaku disana. Fungsi ini tidak sembarangan orang yang mendapatkannya, karena merupakan pilihan dari yang dipuja di Pura tersebut, dan seorang balian semacam ini biasanya adalah seorang gadis. Karena fungsinya tersebut tidak ada lelaki yang berani menikahi Ni Nyoman Rai Sarimben karena akan diberikan hukuman adat bagi siapapun yang berani menikahinya.
      Seorang Guru SD No.1 di Banjar Paketan bernama R. Sukemi Sostrodiharjo asal dari Tulungagung, Jawa Timur masih jejaka pada saat piodalan di Pura Baleagung Buleleng turut menyaksikan upacara. Pada saat itu dia menyaksikan tari Rejang yang penarinya terdiri dari Ni Nyoman Rai Serimben dan Ni Made Latri. R. Sukemi Sostrodiharjo yang menyaksikan tarian tersebut jatuh cinta pada kedua penari, namun akhirnya R.Sukemi Sostrodiharjo menjatuhkan pilihan kepada Ni Nyoman Rai Serimben. Atas dasar cinta sama cinta akhirnya mereka melakukan pernikahan dengan jalan ngerorod (kawin lari). Tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh karena pernikahan ini tidak dapat dilakukan secara Islam mengingat Ni Nyoman Rai Serimben pemeluk agama Hindu yang diikat oleh hukum adat dan R. Sukemi Sostrodiharjo pemeluk Islam yang menjalankan theosofie. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka kedua mempelai berlindung di rumah seorang anggota polisi di Singaraja. Diceritakan bahwa dari pernikahan tersebut antara lain melahirkan DR. Ir. Soekarno. Di lain tempat, masih banyak lagi dikisahkan keturunan-keturunan dari Mpu Wiradnyana yang lainnya.
      Demikian keturunan Mpu Ketek, Mpu Kananda dan Mpu Wiradnyana serta perkembangannya yang diceritakan pada Babad Pasek Jilid II.

Minggu, 03 Juni 2012

Arkeologi Landskap DAS Pakerisan


PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan Kabupaten Gianyar, merupakan tempat yang tidak asing lagi di telinga para arkeolog maupun wisatawan, karena banyaknya tinggalan arkeologi yang terdapat disekitarnya yang kini telah dimanfaatkan menjadi daya tarik wisata dan juga DAS Pekerisan sendiri kini sedang diusulkan sebagai warisan budaya dunia atau "world culture heritage". Sejumlah candi tebing berjejer menghiasi dinding-dinding aliran sungai tersebut seperti Candi Gunung Kawi, Candi Kerobokan, Candi Kelebutan, dan Candi Jukut Paku. Sejak tahun 1921 tinggalan-tinggalan di sekitar DAS Pakerisan dan Petanu telah diinventarisasi oleh W.F. Stutterheim dan hasilnya dimuat dalam majalah Oudheidkundig Verslag tahun 1925 dan 1927.
Banyaknya tinggalan arkeologi yang terdapat disekitar wilayah DAS Pakerisan ini merupakan bentuk nyata kepercayaan masyarakat Bali pada masa lalu yang menganut agama Hindu atau sering disebut sebagai Agama Tirtha dimana air merupakan unsur penting dalam setiap ritual keagamaan, maka tidak mengherankan bahwa bangunan-bangunan suci pada masa Bali Kuna letaknya sebagian besar dekat dengan sumber air maupun memiliki petirtaan.
Seperti halnya Pura Tirtha Empul yang memiliki sumber mata air yang sejak dahulu sumber mata air tersebut selain dimanfaatkan untuk ritual keagamaan dan tempat suci juga dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat sebagai permandian dan sumber air irigasi pertanian masyarakat sekitarnya. Pemanfaatan air ini memang sangat penting karena air merupakan sumber kehidupan utama yang terdapat di bumi. Pengaturan terhadap setiap keperluan akan air sudah dilakukan oleh masyarakat Bali sejak jaman dahulu dimana dalam setiap pemanfaatannya diusahakan agar selalu memperhatikan kelestarian dan kebersihan dari air tersebut. Itupula yang melatarbelakangi pembangunan candi tebing di pinggiran sungai Pakerisan dimana fungsi candi pada lansekap di daerah aliran sungai tidak semata sebagai tempat pemujaan tetapi merupakan bagian dari kearifan masyarakat pada masa lampau dalam menyikapi kesucian sungai dan keselamatan DAS (Geria, 2006).
Kehidupan manusia sangat tergantung pada alam, maka dari itu suatu keharmonisan sangatlah penting untuk diperhatikan pada setiap pengolahan alam yang dilakukan oleh manusia, baik itu untuk keperluan sandang, pangan, papan serta untuk kebutuhan rohani maupun jasmani. Situs arkeologi sebagai suatu hasil karya manusia masa lampau yang kaya akan nilai sejarah, budaya serta pendidikan yang erat kaitannya dengan lingkungan alam sudah seharusnya dilindungi keberadaannya dari kerusakan tangan-tangan jahil maupun bencana alam. Perhatian terhadap lansekap suatu situs kini nampaknya sedang gencar diperhatikan oleh para peneliti dalam mengkaji hubungan serta pengaruh dari suatu bentanglahan terhadap keberadaan situs maupun sebaliknya, hal ini dimaksudkan agar kedepannya para peneliti maupun ahli mampu mencari solusi setiap permasalahan yang mungkin ditimbulkan oleh  dua aspek yang saling berkaitan tersebut.
Jika membahas tentang lansekap maka tidak akan dapat terlepas dari pengertian landskap itu sendiri menurut para ahli lanskap secara umum memiliki makna yang hampir sama dengan istilah bentanglahan, fisiografi, dan lingkungan. Perbedaan diantara ketiganya terletak pada aspek interpretasinya dimana bentanglahan di dalamnya terdapat unit-unit bentuklahan (landforms) merupakan dasar keseragaman (similaritas) maupun perbedaan (diversitas) unsur-unsurnya yang memberi gambaran fisiografis atas suatu wilayah (Yuwono, 2007).
Dengan adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahun yang tidak pernah puas akan suatu ilmu yang bersifat dinamis serta terus-menerus berkembang maka persinggungan antara ilmu geografi dengan ilmu arkeologi kini telah melahirkan ilmu baru yaitu arkeologi lansekap yang merupakan inti dari permasalahan di atas. Arkeologi lansekap pada awalnya berkembang di Eropa, penerapan pendekatan ilmu ini memberikan banyak keuntungan bukan hanya bagi arkeologi melainkan juga bagi kajian geografi manusia dimana manusia banyak berurusan dengan cara-cara manusia mengekploitasi dan memodifikasi habitatnya, pola pemukiman, pasar dan jaringan komunikasi serta kecenderungan-kecenderungan demografik. Di sisi lain, arkeologi lebih menitik beratkan penelitiannya pada wilayah-wilayah yang memiliki bukti-bukti budaya bendawi, antara lain melalui ekskavasi atau rekonstruksi ekologi (Yuwono, 2007).
Di wilayah sepanjang DAS Pakerisan tersebar begitu banyak tinggalan arkeologi salah satunya yaitu Candi Mengening yang terdapat di Pura Mengening. Lokasi situs yang tidak dapat dilepaskan dengan lansekap disekitarnya berupa air yang difungsikan untuk berbagai hal mulai dari petirtaan hingga permandian yang terletak di bagian bawah Pura serta lereng yang cukup terjal dengan pemandangan yang ditata sedemikian rupa sehingga memunculkan kesan indah serta damai membuat penulis tertarik untuk mengkaji hubungan lingkungan dengan keberadaan situs yang diperkirakan berasal dari masa pemerintahan Anak Wungsu tersebut.
PEMBAHASAN
Kecamatan Tampaksiring merupakan sebuah Kecamatan terletak pada dataran tinggi yang subur dengan jenis vegetasi yang beraneka ragam karena wilayahnya yang dialiri oleh DAS Pakerisan. Situs-situs tinggalan arkeologi juga banyak tersebar di wilayah ini terutama situs-situs yang merupakan tempat suci seperti Pura dan Candi. Hal ini merupakan suatu perwujudan dari konsep tradisi megalithik yaitu pemujaan kepada dewa maupun leluhur yang biasanya ditempatkan pada tempat-tempat tinggi atau gunung.

Gb. Wilayah Tampaksiring (Sumber: Google Earth)
Pura Mengening terletak di Desa Pakraman Saraseda, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Disebelah utara Pura Mengening terdapat Pura Tirta Empul, di sebelah selatannya terletak Candi Gunung Kawi, di sebelah barat pada sebuah lembah terdapat sebuah mata air dan oleh penduduk disebut Yeh Mengening. Air tersebut mengalir ke permukaan, kemudian mengalir ke arah selatan melalui sebuah lembah yang lebih rendah, dan akhirnya bermuara ke  sungai Pakerisan (Bagus, 2007). Situs Pura Mengening dijadikan sebagai Cagar Budaya oleh Pemprop Bali berdasarkan UU No.5/1985.
Candi Yeh Mengening yang terdapat pada Pura Mengening dibangun pada lembah sungai Pakerisan yang agak dalam dengan tebing-tebingnya yang agak terjal, pada awalnya candi ini ditemukan dalam keadaan tidak utuh. Hasil pengamatan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali (BP3) pada tahun 1982 hanya menemukan komponen bangunan, dua buah arca yang diletakkan di kiri dan di kanan bilik bangunan, dan beberapa sisa bangunan lainnya. Dari bukti-bukti tersebut kemudian dilakukan ekskavasi penyelamatan dan ditemukan ruangan atau bilik candi pada kedalaman 50 cm, ditemukan lingga yoni dan di bawahnya ditemukan padagingan dalam tiga wadah berupa cepuk (Astawa, 2007).
Candi Yeh Mengening didirikan pada lereng tebing sebelah timur dengan pembangunannya pada zaman dahulu begitu memperhatikan tidak hanya dari segi religi namun juga dari segi keindahan lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dari pola susunan tanah yang berbentuk sengkedan dan terdapat kolam-kolam di tebing bagian bawah, semuanya tertata dengan rapi sehingga dapat memanjakan mata yang memandang serta menimbulkan kesan damai dengan gemericik suara air pada kolam-kolam tersebut.
Selain terdapat candi, di situs Pura Mengening juga ditemukan sebuah lingga yoni yang kondisinya sudah rusak sehingga cukup sulit untuk diteliti seperti bentuk utuh lingga yoni dan apa ragam hias yang ditonjolkan,  walaupun demikian lingga yoni tersebut kini ditempatkan di dalam ruangan candi dan sangat disakralkan oleh masyarakat penyungsungnya dan hanya bisa dibuka pada saat upacara (piodalan).
Prasasti yang dikaitkan dengan Candi Mangening adalah prasasti Batuan yang berangka tahun  944 Saka atau 1022 Masehi, menggunakan aksara atau bahasa jawa kuna dan dikeluarkan oleh raja Marakata, (Goris,1954:15). Dalam prasasti ini disebutkan wakil-wakil desa Batuan menghadap dan melaporkan kepada raja almarhum yang dicandikan di er wka (yang dimaksud adalah raja Udayana). Sehubungan dengan er wka, ada yang memperkirakan adalah Candi Mangening, er artinya air bahasa daerahnya yeh, sedangkan wka artinya anak atau cening, sehingga menjadi yeh cening, lama-lama berubah menjadi Yeh Mengening (Bagus, 2007).
Dibandingkan dengan situs petirthaan lainnya yang terdapat di DAS Pakerisan, situs Pura Mangening memiliki sumber mata air yang terbanyak karena memang terletak pada badan bukit yang merupakan tempat strategis bagi sumber-sumber mata air untuk muncul ke permukaan tanah. Tercatat ada sebelas sumber mata air yang disucikan disebut tirtha ditampung pada kolam suci kemudian dialirkan pada masing-masing pancoran untuk digunakan dalam ritual agama Hindu. Sebagian besar sumber mata air tersebut muncul diantara sela-sela akar pohon besar yang tumbuh di dinding tebing di sekitar Pura. Air yang dialirkan ke pancoran ditambung di kolam dan air luapan dari kolam tersebut dialirkan melalui selokan menuju ke sungai Pakerisan yang dimanfaatkan untuk mengairi persawahan di Desa Tampaksiring, Bedulu, Pejeng dan sekitarnya.
Pura Mengening terletak di lembah terjal sungai Pakerisan, dengan vegetasi yang tumbuh maupun ditanam oleh masyarakat disekitar situs antara lain beringin, delima, kemiri, kelapa, enau, bambu, nangka, dsb. Semua tumbuh dan tertata tidak begitu rapi, namun indah dipandang mata karena menimbulkan kesan hijau segar dan sejuk, ditambah suhu lingkungan yang dingin membuat setiap orang yang mengunjungi situs ini akan memperoleh sebuah ketenangan. Suasana seperti ini tentunya tidak akan dapat terwujud tanpa adanya kesadaran dari masyarakat di sekitar situs akan pentingnya pemeliharaan lingkungan yang berlandaskan atas konsep Tri Mandala dan Tri Hita Karana serta sikap taat masyarakat terhadap awig-awig.
Dalam hal pengelolaan sebagai daya tarik wisata, lansekap yang terdapat di situs Pura Mengening tidak dapat disanksikan lagi keindahannya sehingga wisatawan merasa nyaman berada di wilayah situs yang merupakan perbatasan yang saling bersinergi antara aspek-aspek budaya dan fisik atas fenomena bentanglahan masa lalu yang masih dijaga kelestariannya walaupun pada kenyataannya memang sudah dilakukan konservasi di beberapa beberapa bagian terkain dengan memelihara keindahan situs ini sebagai suatu daerah tujuan pariwisata.
Hingga kini kelestarian, penataan serta pemanfaatan lingkungan alam situs Pura Mengening masih terjaga dengan baik, hal ini dikarenakan konsep leluhur masyarakat Bali sejak dahulu masih dapat dijaga dengan baik. Suatu konsep penataan tata ruang yang selalu memperhitungkan keseimbangan (konsep Tri Hita Karana), adanya wujud ide dalam bentuk kepercayaan juga ikut serta dalam pelestarian situs karena mempunyai sugesti kekuatan supranatural yang dipercaya masyarakat akan memberi dampak buruk pada mereka yang melanggarnya.
Adanya tatanan konstitusi berupa awig-awig pada masyarakat Bali yang merupakan tradisi turun- temurun sejak masa pemerintahan raja-raja Bali Kuna juga berpengaruh pada prilaku serta kedisiplinan masyarakat Bali saat ini. Awig-awig secara umum bertujuan bukan hanya untuk menertibkan masyarakatnya dari tindak kejahatan, namun lebih kepada menertibkan kawasan lingkungan mereka yang mencakup semua unsur-unsur yang terdapat di dalam kawasan tersebut.
Tidak asing lagi bagi para arkeolog maupun masyarakat Bali jika mendengar istilah Tri Mandala. Tri Mandala merupakan suatu konsep pembagian ruang berdasakan tingkat kesucian suatu wilayah (Nista (luar), Madya (tengah), Utama (inti)). Pada wilayah Nista Mandala terdapat sebuah taman, disini juga terdapat sumber air suci (tirtha) yang dapat diambil oleh masyarakat untuk keperluan agama (yadnya). Untuk wilayah Madya Mandala terdapat beberapa bangunan seperti Bale Gong, Bale Kulkul, Bale Pegambahan dan Bale Pegat. Sedangkan di Utama Mandala terdapat beberapa pelinggih di antaranya Gedong Meru Tumpang Tiga, Gedong yang merupakan sthana Batara Gunung Kawi, Gedong Limas, pelinggih Batara Tirta Empul, Pemaruman, Bale Saka Ulu, pelinggih Batara Siwa, Bale Paselang, Bale Pecanangan dan Bale Penganteb.
Adanya konsep-konsep seperti ini merupakan salah satu bentuk kepedulian leluhur yang menginginkan adanya suatu kedisiplinan dalam pengelolaan kawasan sehingga terciptalah keseimbangan. Konsep-konsep seperti ini yang merupakan suatu kearifan lokal diterapkan oleh masyarakat masa lalu dalam mengelola lingkungan bertujuan agar kebudayaan ataupun lingkungan itu sendiri nantinya tetap dapat berkelanjutan (sustainable). Dan apapun dasar kosmologis untuk pengaturan suatu masyarakat ruang, hasilnya adalah dampak material pada praktek sehari-hari (Blake. Emma , 2001;150).

PENUTUP
Arkeologi lansekap mengandung pengertian sebagai cabang ilmu arkeologi yang menekankan kajian maupun pedekatannya pada lingkungan suatu situs, dimana antara fenomena arkeologis dan geografis terjadi suatu pengolahan yang dilakukan oleh manusia sehingga menciptakan suatu kebudayaan. Dalam perjalanannya masyarakat Bali berusaha untuk tetap melestarikan konsep kearifan lokal yang diwarikan oleh leluhur mereka untuk tetap menjaga kelestarian situs maupun lingkungannya agar keseimbangan dunia (kosmos) tetap terjaga. Pengelolaan warisan budaya dengan tetap menerapkan kearifan lokal diharapkan mampu memberi kontribusi bukan hanya kepada manusia sebagai subjek pewaris kebudayaan melainkan juga kepada lingkungan sekitar selaku objek dari kebudayaan tersebut. Pura Mengening yang terletak pada lembah DAS Pakerisan sebagai objek wisata budaya telah mampu mengajarkan penulis bahwa lingkungan alam merupakan salah satu media pembelajaran yang sangat tepat untuk dapat menghargai dan menghormati karya leluhur.

DAFTAR PUSTAKA
Goris, DR. R. 1954. Prasasti Bali I. Masa Baru, Bandung.
Yuwono, J. Susetyo Edi, 2007. “ Kontribusi Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam Berbagai Skala Kajian Arkeologi Lansekap”, Berkala Arkeologi Tahun XXXVII No.2/ No.2007.
Geria, I Made, 2006. “ Kajian Arkeologi Landskap Tantangan ke Depan dalam Pelestarian Warisan Budaya di Bali”, Forum Arkeologi No. I Mei 2006, Balai Arkeologi Denpasar hal.8.
Tara Wiguna, I Gusti Ngurah, 2008. “Penerapan Konsep Mandala dan Tri Angga dalam Arsitektur Candi Gunung Kawi”. Pusaka Budaya dan Nilai-NIlai Religiusitas, Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Blake, Emma, 2001. “Constructing a Nuragic Locale : The Spatial Relationship between Tombs and Towers in Bronze Age Sardinia”,  American Journal of Archaeology Volume 105 No. 2 April 2001.
Sumber Internet :
(diakses tanggal 28 Desember 2011)
(diakses tanggal 28 Desember 2011)
(diakses tanggal 28 Desember 2011)

CANDI MENGENING (HUBUNGAN SITUS, LANSKAP DAN LINGKUNGAN SEKITAR)


 
Letak dan Lingkungan

Candi Yeh Mangening terletak di Banjar Sarasada, Desa Tampaksiring, Kec. Tampaksiring, Kab.Gianyar. Candi Yeh Mangening dibangun pada lembah sungai Pakerisan yang agak dalam dengan tebing-tebingnya yang agak terjal. Candi ini didirikan pada lereng tebing sebelah timur yang merupakan saksi sejarah masa lalu (Bali Kuno, 10-13 M). Tempat Candi Mangening didirikan telah diperhitungkan dengan seksama oleh pendirinya, tidak saja dari segi religi tetapi juga dari keindahan lingkungan. Di Lokasi Candi Mangening ini didirikan Pura, disebut Pura Yeh Mangening. Di sebelah utara dari candi Mangening adalah Tirta Empul, disebelah selatannya terdapat komplek Candi Tebing Gunung Kawi dan disebelah barat terdapat Pura Sakenan, di dalamnya banyak menyimpan arca-arca kuna. Tataguna tanah pada situs Candi Yeh Mangening, ada dimanfaatkan untuk pertanian, perkebunan, pada bagian tebing ditanami berbagai jenis vegetasi yang keras.

b.      Tinggalan Arkeologi
Tinggalan arkeologi yang terdapat di Candi Yeh Mangening adalah sebagai berikut.
1.      Candi
Candi yang ketika ditentukan dalam kondisi tidak utuh, yang tinggal hanya bagian struktur kaki candi saja. Dan hasil penelitian tahun 1982 oleh BP3 Bali. Candi Mangening dapat dipugar kembali seperti ada sekarang ini
2.      Lingga Yoni
Lingga Yoni ditempatkan di ruangan candi sangat disakralkan oleh masyarakat penyungsungnya dan hanya bisa dibuka pada saat upacara (piodalan).
Prasasti yang dikaitkan dengan Candi Mangening adalah prasasti Batuan yang berangka tahun  944 Saka atau 1022 Masehi, menggunakan aksara atau bahasa jawa kuna dan dekeluarkan oleh raja Marakata, (Goris,1954:15). Dalam prasasti ini disebutkan wakil-wakil desa batuan menghadap dan melaporkan kepada raja almarhum yang dicandikan di er wka (yang dimaksud adalah raja Udayana). Penduduk desa Batuan yang ditugaskan memelihara kebun raja almarhum yang terletak di er paku dan menyelenggarakan upacara di kuil Baturan. Menyadari betapa berat tugas itu, maka merekadibebaskan dari pajak-pajak tertentu(Suarbhawa, 2003:13). Sehubungan dengan er wka, ada yang memperkirakan adalah candi Mangening, er artinya air bahasa daerahnya yeh, sedangkan wka artinya anak atau cening, sehingga menjadi yeh cening, lama-lama berubah menjadi Yeh Mangening adalah candi Raja Udayana yang berasal dari abad ke 10 Masehi.


c.       Sumber Air
Candi Yeh Mangening ini dibangun pada lembah sungai Pakerisan yang memiliki sumber mata air paling banyak diantara situs-situs lainnya. Sumber-sumber mata air ini disucikan oleh masyarakat sehingga disebut tirtha. Semua sumber mata air suci di Candi Yeh Mangening ini ditampung pada kolam suci, selanjutnya airnya dialirkan melalui pancoran-pancoran yang ada pada setiap kolam suci. Air suci yang dialirkan melalui pancoran tersebut digunakan dalam upacara ritual agama Hindu. Adapun sumber-sumber mata air yang disucikan dan digunakan sebagai tirtha adalah sebagai berikut.
1.      Tirtha Kamaning
2.      Tirtha Keris
3.      Tirtha Keben
4.      Tirtha Dedari
5.      Tirtha Angsoka
6.      Tirtha Melela
7.      Tirtha Sudamala
8.      Tirtha Arum
9.      Tirtha Merta Sari
10.  Tirtha Telaga Waja
11.  Tirtha Pengelebur Dasa Mala

Luapan sumber-sumber mata air ini ditampung pada kolam (sumur) serapan yang selanjutnya dialirkan melalui selokan menuju ke sungai Pakerisan yang dimanfaatkan untuk mengairi persawahan di Desa Tampaksiring, Pejeng, Bedulu, dan sekitarnya.
 
d.      Vegetasi
Jenis-jenis vegetasi yang ditanam di sekitar situs yaitu : beringin, pole, delima, kemiri, pangi, kelapa, enau, bambu, tehep, nangka, majagau. Pohon yang dikeramatkan adalah pohon beringin dan dibawahnya terdapat sumber mata air, oleh masyarakat disebut Tirtha Kamaning dan Keris. Di tempat sumber mata air ini dibangun pelinggih Dewi Gangga. Mengenai pepohonan yang ada di sekitar situs tidak diperkenankan menebang atau mencari sembarangan karena dilindungi oleh aturan adat, bagi masyarakat yang melanggar dikenakan sangsi adat berupa upacara.

Analisis Bangunan Berdasarkan Fungsi Arsitektur “Building Task”



Gb. Jineng/Klumpu Tradisional Desa Bayung Gede,  Kec. Kintamani, Kab. Bangli
Sumber gambar : http://baliluwih.blogspot
Hasil Analisis Berdasarkan Fungsi Arsitektur “Building Task”
1.      Dari segi Artistik Form :
Bahan baku bangunan jineng sebagian besar menggunakan bahan baku dari kayu. Arsitektur bangunan jineng nampak terlihat indah pada bagian atap yang terbuat dari batang bambu, dipasang secara vertikal dan potongan-potongan bambu  tersebut dipotong meruncing simetris dengan ukuran yang sama disusun berjajar semakin atas semakin meruncing mirib bentuk piramida. Selain itu pada bagian badan jineng dibangun atas tiang-tiang penyangga yang disusun rapi dengan dinding yang terbuat dari triplek. Secara umum bentuk tipologi jineng menyerupai rumah panggung dengan jumlah tiang sebagai kaki penyangga sebanyak empat buah.
2.      Dari segi Container          :
Fungsi jineng secara umum pada masyarakat Bali adalah sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen berupa padi dan biji-bijian yang diletakkan pada bagian atap, maka dari itu atap jineng dibuat besar dan terdapat ruangan di dalamnya, biasanya digunakan alat bantu tangga untuk mencapai atap, yang dibuat terpisah dan ada pula yang menyatu dengan bangunan jineng. Bagian badan jineng berbentuk segi empat seperti bale bengong yang difungsikan sebagai tempat bersantai bagi pemilik rumah.
3.      Dari segi Climatic Modifier :
Bangunan jineng yang terdapat di Desa Bayung Gede terletak pada daerah dingin, penggunaan kayu merupakan bahan baku alami yang mudah di dapatkan disekitar desa, selain itu penggunaan kayu ini juga bermanfaat karena suhu yang dihasilkan akan lebih hangat sehingga hasil panen dapat terlindungi dari cuaca dan iklim buruk, penataan atap yang dipasang secara rapat juga berfungsi agar binatang pengerat yang berusaha memakan hasil panen tidak dapat masuk ke atap tempat penyimpanan hasil panen. Bagian badan yang seperti bale bengong dibuat terbuka agar pemilik rumah dapat bersantai bersama dengan keluarganya dimana angin akan dapat terasa sejuk bagi orang-orang yang sedang beristirahat di jineng.
4.      Dari segi Environmental Filter :
Pengunaan bahan baku dari kayu dan bambu juga disesuaikan berdasarkan tanaman yang mudah ditemukan di sekitar daerah Bayung Gede, selain itu penggunaan kayu juga merupakan aspek pelestarian yang dijaga penggunaannya oleh masyarakat setempat dan memberikan daya tarik bagi orang di luar Desa Bayung Gede yang juga merupakan ciri khas bangunan jinengnya dengan atap yang terbuat dari Bambu.
5.      Dari segi Cultural Symbolization :
Simbol budaya pada bangunan jineng dapat dilihat dari bentuk arsitektur bangunan dan bahan baku bangunan maupun atapnya. Pengunaan jineng sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen merupakan kebudayaan asli masyarakat Bali dengan penduduknya yang bermata pencaharian sebagai petani. Bahan baku bambu juga melimpah banyak didapatkan di sekitar daerah Bangli sehingga merupakan ciri khas budaya dengan menggunakan atap dari bahan bambu. Sebagai contoh daerah lain di Bangli yang bangunan atapnya terbuat dari bambu adalah di Desa Penglipuran.