Sabtu, 03 November 2012


SINOPSIS
BABAD PASEK
JILID II
( JRO MANGKU GDE KTUT SOEBANDI )


Babad Pasek Jilid I maupun Jilid II menguraikan tentang aspek genealogis dari Sapta Pandita atau Sapta Rsi (Maha  Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi). Khusus pada Babad Pasek Jilid II menguraikan tentang keturunan 3 dari 7 Mpu yang merupakan Sanak Sapta Rsi yaitu Mpu Ketek, Mpu Kananda, dan Mpu Wiradnyana serta perkembangan dari keturunan-keturunan beliau.
Sang Sapta Rsi berasal dari tanah Jawa yang taat terhadap nasehat leluhur, salah satu nasehat leluhur yang sangat ditaati oleh Mpu Ketek beserta adik-adiknya ialah selalu menyelenggarakan pujawali dan widhiwidhana di Pura Besakih Bali pada hari Purnama Sasih Kapat. Keberangkatan dari Jawa ke Bali melalui jalur laut dengan menggunakan perahu bernama Madhusudhana. Mpu Ketek beserta adik dan putra-putranya tiba di Bali tepatnya di Pantai Desa Padang pada hari Kamis Keliwon wara Warigadian, sasih Kasa, pananggal ping 7, tahun Saka 1088. Dalam babad diceritakan beberapa perjalanan Mpu Ketek sebelum akhirnya sampai serta melaksanakan pujawali dan widhiwidhana di Pura Besakih.
Sesudah selesai menyelenggarakan upacara pujawali dan widhiwidhana terhadap arwah suci leluhur dan Sang Hyang Widhi Wasa, para Mpu lalu mohon diri untuk kembali pulang ke Jawa. Selanjutnya tiap tahun para Mpu tersebut selalu kembali datang ke Bali untuk melakukan pujawali dan widhiwidhana. Pada sasih Kalima, pangelong ping 15, hari Rabu Keliwon wara Ugu tahun Saka 1111, Mpu Ketek diiringi oleh adik dan putra-putranya datang ke Bali melalui jalur darat. Suatu hari beliau sampai di Desa Kuntulgading (Kedisan) dan sesampainya disana disambut dengan baik oleh masyarakat Bali Aga.  Dalam perjamuannya Mpu Ketek mengucapkan terimakasih kepada masyarakat Bali Aga sekaligus beliau memberitahukan kepada masyarakat Bali Aga bahwa kedatangan beliau akan menyelenggaraakan upacara Panca Wali Krama di Pura Besakih sehingga masyarakat Bali Aga dinasehati agar membuat yadnya (korban suci) di masing-masing desa. Nasehat tersebut disambut baik oleh masyarakat Bali Aga dan mereka bersedia untuk melaksanakannya.
Pada saat kepulangan para Mpu kembali ke Pulau Jawa Sang Abra Sinuhun (Kawitan) sempat bersabda : “Anak-anak dan cucu-cucuku, tidak terhingga suka cita hatiku terhadap prilaku sekarang, benar-benar kamu selaku keturunanku melaksanakan dharma seperti yang aku nasehatkan dahulu. Kini aku menyampaikan nasehat Bhatara Tri Purusa, yakni janganlah kamu lupa sampai akhir jaman dengan tugas kewajiban, dan nasehatku ini supaya disampaikan juga kepada anak cucu piut keturunanmu. Supaya mereka tetap taat serta melaksanakan dharma sebagai seorang Pandita…”
I.       Keturunan Mpu Ketek
      Mpu Ketek menikah dengan putrinya Ki Aryya Padang Subadra, dan dari pernikahannya ini beliau berputra 2 orang laki-laki, yaitu yang sulung bernama Aryya Kapasekan, dan adiknya bernama Sanghyang Pamacekan.
      Dikisahkan Arrya Kapasekan kawin dengan Ni Swararika, sesudah berada di Bali berputra 2 orang laki-laki perempuan, masing-masing bernama Ni Luh Pasek dan Kyayi Agung Pamacekan. Seterusnya Kyayi Agung Pamacekan berputra seorang laki-laki bernama Kyayi Agung Pamacekan, sama dengan nama ayahnya yang kemudian kembali ke Jawa.
      Sang Hyang Pamacekan menikah dengan Dewi Dwararika yakni Putri Mpu Bahula, kemudian berputra 2 orang laki perempuan, yang sulung perempuan bernama Dewi Girinatha, dan adiknya laki-laki bernama Mpu Pamacekan. Disebutkan bahwa Kyayi Agung Pamacekan setelah pindah ke Bali, berputra 2 orang laki-laki, masing-maing bernama Pasek Denpasar di Gelgel dan Pasek Gelgel. Adapun Mpu Pamacekan di Jawa menikah dengan Ni Ayu Swani, kemudian berputra 3 orang laki perempuan, yang tertua bernama Arrya Kepasekan, yang kedua bernama Arrya Pamacekan yang sesudah dwijati (diksa) bergelar Mpu Jiwanatha, sedang yang bungsu perempuan bernama Ni Ayu Ler.
      Adapun Arrya Pamacekan menikah dengan Ni Swaradangkya, lalu berputra seorang laki-laki bernama Kyayi Gusti Agung Subadra. Seterusnya Kyayi Gusti Agung Subadra menikah dengan Luh Pasek yang kemudian berputra 2 orang laki-laki, yang sulung bernama Ki Pasek Tohjiwa, dan adiknya bernama Ki Pasek Padang Subadra.
      Oleh Raja Bali Sri Tapanulung yang dinobatkan pada tahun Saka 1246 (1324 M) bergelar Sri Gajah Waktra atau Sri Gajah Wahana diangkat Amancabhumi dengan tugas pengempon Pura Silayukti di Desa Padang. Sedang Ki Pasek Tohjiwa sebagai Amancabhumi berkedudukan di Kejiwa bergelar I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa, menguasai suatu daerah disebelah barat bukit Penyu dan disebelah timur Desa Bajing. Keputusan pengangkatai ini diambil dalam rapat di Gelgel, pada hari Senin Umanis, wara Sungsang tahun Saka 1257 (1335 M).
      Pada tahun Saka 1274 tatkala I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa ditunjuk sebagai wakil pimpinan perutusan Samplangan ke Tapurhyang Batur untuk mendamaikan pemberontakan orang-orang Bali Aga yang menentang pemerintahan Adipati Samplangan Sri Kreshna Kepakisan, disana I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa menikah dengan Luh Sadri puteri dari Ki Kayuputih salah seorang tokoh rakyat Bali Aga dan dari pernikahannya berputra 2 orang laki perempuan. Yang sulung perempuan bernama Luh Taru dan adiknya bernama Made Jaya. Selanjutnya dikisahkan perkembangan dari keturunan I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa.
      Kyayi Agung Pasek Padang Subadra di Desa Padang kawin dengan Ni Luh Pasekan dari Desa Perasi, kemudian berputra 5 orang laki-laki yaitu Ki Pasek Kurubadra, Ki Pasek Sadri lalu melakukan tapa bratha yoga semadhi di dalam hutan di pinggir sungai Malangit, kemudian sesudah pudgala (dwijati) bergelar Ki Dukuh Suladri sebagai pengempon Pura Dalem Suladri, Ki Pasek Sadra yang kemudian diangkat sebagai pimpinan desa Kusamba, Ki Pasek Tegalwangi dan yang bungsu bernama Ki Pasek Subratha bertempat tinggal di Banjar Juntal Desa Kubu.
      Di dalam sejarah perjalanan dan perkembangan keturunan Kyayi Agung Pasek Subadra, telah terjadi beberapa peristiwa penting, baik yang bersifat positif maupun negatif yang dialami oleh keturunan Kyayi Agung Pasek Subadra, mulai dari Ki Pasek Padang Subadra meninggalkan Tulamben, Gde Pasek Subratha sebagai Patih Kyayi Agung Dhimade, Luh Pasek menikah dengan I Gusti Wayan Yasa, Made Pasek Cedok diangkat menjadi Patih, hingga Gde Subratha ikut Pasek Gelgel di Desa Songan.

II.    Keturuanan Mpu Kananda
      Mpu Kananda menikah dengan putrinya Mpu Swethawijaya, kemudian berputra seorang laki-laki bernama Sang Kuldewa, sesudah pudgala (Dwijati) bergelar Mpu Swethawijaya, menggunakan nama yang sama dengan kakeknya dari pradhana (pihak perempuan). Selanjutnya Mpu Swethawijaya berputra 3 orang laki perempuan, masing-masing bernama Mangku Sang Kul Putih, Wira Sang Kulputih, dan yang bungsu perempuan bernama Ni Ayu Swami.
      Pada hari Senin Umanis, wara Sungsang, tahun Saka 1257 (1335 M) oleh Raja Bali Sri Gajah Waktra atau Sri Gajah Wahana, Wira Sang Kulputih diangkat menjadi pamangku di Pura Bhasakih, beliau diiringi oleh seorang sahaya bernama I Gotha. Wira Sang Kulputih berhasil menyusun ajaran Kapamangkuan yang diberi nama Lontar Kulputih, yang kemudian disebut Kulpetak. Setelah Wira Sang Kulputih pudgala (dwijati) bergelar Ki Dukuh Sorga atau Ki Dukuh Sorgga di banjar Sorgga Desa Sabudi.
      Ki Dukuh Sorga menurunkan 8 orang anak yaitu Pasek Dukuh di Ambengan banjar Badeg Desa Sabudi, Pasek Dukuh di Banjar Dadari Taman Bagendra Desa Sabudi, Pasek Dukuh di Banjar Bunoah Desa Ban, Pasek Dukuh di Banjar Purabukur Desa Sabudi, Pasek Dukuh di Banjar Batukaubelong Desa Ban, Pasek Dukuh di Banjar Sudaning Desa Bhasakih. Selanjutnya merekalah yang menurunkan Pasek yang disebut Pasek Sorga atau Pasek Sorgga di beberapa tempat di Bali.

III. Keturunan Mpu Wiradnyana
      Mpu Wiradnyana menikah dengan putri Mpu Panataran, kemudian berputra seorang laki-laki dan sesudah pudgala (dwijati) bergelar Mpu Wiranatha. Selanjutnya Mpu Wiranatha menikah dengan Dewi Amertha Manggali, lalu berputra 3 orang laki perempuan, yang sulung setelah pudgala (dwijati) bergelar Mpu Purwwanatha, yang kedua perempuan bernama Ni Ayu Wetan, yang bungsu juga perempuan bernama Ni Ayu Tirtha. Mpu Purwanatha kemudian berputra 2 orang laki perempuan, yang pertama laki-laki bernama Mpu Purwwa dan adiknya perempuan bernama Ken Dedes. Kemudian Mpu Purwwanatha dari Daha atau Kediri pindah ke Desa Panawijan, wilayah Tumapel bersama-sama dengan Mpu lainnya karena berasa dihina oleh Raja Kediri yaitu Sri Kerthajaya alian Sri Dangdanggenis. Sri Dangdanggenis bertahta di Kediri sekitar tahun Saka 1116 sampai dengan 1144 (1194-1222 Masehi).
      Salah satu ketururan kesekian dari Mpu Wiradnyana yaitu Ki Pasek Tartar diceritakan mempunyai keturunan bernama Ni Nyoman Rai Serimben yang secara niskala (gaib) ditunjuk oleh Bhatara yang dimuliakan dan dipuja (disungsung) di Pura Baleagung Buleleng yaitu fungsi spiritual yang berlaku disana. Fungsi ini tidak sembarangan orang yang mendapatkannya, karena merupakan pilihan dari yang dipuja di Pura tersebut, dan seorang balian semacam ini biasanya adalah seorang gadis. Karena fungsinya tersebut tidak ada lelaki yang berani menikahi Ni Nyoman Rai Sarimben karena akan diberikan hukuman adat bagi siapapun yang berani menikahinya.
      Seorang Guru SD No.1 di Banjar Paketan bernama R. Sukemi Sostrodiharjo asal dari Tulungagung, Jawa Timur masih jejaka pada saat piodalan di Pura Baleagung Buleleng turut menyaksikan upacara. Pada saat itu dia menyaksikan tari Rejang yang penarinya terdiri dari Ni Nyoman Rai Serimben dan Ni Made Latri. R. Sukemi Sostrodiharjo yang menyaksikan tarian tersebut jatuh cinta pada kedua penari, namun akhirnya R.Sukemi Sostrodiharjo menjatuhkan pilihan kepada Ni Nyoman Rai Serimben. Atas dasar cinta sama cinta akhirnya mereka melakukan pernikahan dengan jalan ngerorod (kawin lari). Tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh karena pernikahan ini tidak dapat dilakukan secara Islam mengingat Ni Nyoman Rai Serimben pemeluk agama Hindu yang diikat oleh hukum adat dan R. Sukemi Sostrodiharjo pemeluk Islam yang menjalankan theosofie. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka kedua mempelai berlindung di rumah seorang anggota polisi di Singaraja. Diceritakan bahwa dari pernikahan tersebut antara lain melahirkan DR. Ir. Soekarno. Di lain tempat, masih banyak lagi dikisahkan keturunan-keturunan dari Mpu Wiradnyana yang lainnya.
      Demikian keturunan Mpu Ketek, Mpu Kananda dan Mpu Wiradnyana serta perkembangannya yang diceritakan pada Babad Pasek Jilid II.