SINOPSIS
BABAD PASEK
JILID II
( JRO MANGKU GDE KTUT
SOEBANDI )
Babad
Pasek Jilid I maupun Jilid II menguraikan tentang aspek genealogis dari Sapta
Pandita atau Sapta Rsi (Maha Gotra Pasek
Sanak Sapta Rsi). Khusus pada Babad Pasek Jilid II menguraikan tentang
keturunan 3 dari 7 Mpu yang merupakan Sanak Sapta Rsi yaitu Mpu Ketek, Mpu
Kananda, dan Mpu Wiradnyana serta perkembangan dari keturunan-keturunan beliau.
Sang
Sapta Rsi berasal dari tanah Jawa yang taat terhadap nasehat leluhur, salah
satu nasehat leluhur yang sangat ditaati oleh Mpu Ketek beserta adik-adiknya
ialah selalu menyelenggarakan pujawali dan widhiwidhana di Pura Besakih Bali
pada hari Purnama Sasih Kapat. Keberangkatan dari Jawa ke Bali melalui jalur
laut dengan menggunakan perahu bernama Madhusudhana. Mpu Ketek beserta adik dan
putra-putranya tiba di Bali tepatnya di Pantai Desa Padang pada hari Kamis
Keliwon wara Warigadian, sasih Kasa, pananggal ping 7, tahun Saka 1088. Dalam
babad diceritakan beberapa perjalanan Mpu Ketek sebelum akhirnya sampai serta
melaksanakan pujawali dan widhiwidhana di Pura Besakih.
Sesudah
selesai menyelenggarakan upacara pujawali dan widhiwidhana terhadap arwah suci
leluhur dan Sang Hyang Widhi Wasa, para Mpu lalu mohon diri untuk kembali
pulang ke Jawa. Selanjutnya tiap tahun para Mpu tersebut selalu kembali datang
ke Bali untuk melakukan pujawali dan widhiwidhana. Pada sasih Kalima, pangelong
ping 15, hari Rabu Keliwon wara Ugu tahun Saka 1111, Mpu Ketek diiringi oleh adik dan
putra-putranya datang ke Bali melalui jalur darat. Suatu hari beliau sampai di
Desa Kuntulgading (Kedisan) dan sesampainya disana disambut dengan baik oleh
masyarakat Bali Aga. Dalam perjamuannya
Mpu Ketek mengucapkan terimakasih kepada masyarakat Bali Aga sekaligus beliau
memberitahukan kepada masyarakat
Bali Aga bahwa kedatangan beliau akan menyelenggaraakan upacara Panca Wali
Krama di Pura Besakih sehingga masyarakat Bali Aga dinasehati agar membuat
yadnya (korban suci) di masing-masing desa. Nasehat tersebut disambut baik oleh
masyarakat Bali Aga dan mereka bersedia untuk melaksanakannya.
Pada saat kepulangan para Mpu kembali ke Pulau Jawa
Sang Abra Sinuhun (Kawitan) sempat bersabda : “Anak-anak dan cucu-cucuku, tidak
terhingga suka cita hatiku terhadap prilaku sekarang, benar-benar kamu selaku
keturunanku melaksanakan dharma seperti yang aku nasehatkan dahulu. Kini aku
menyampaikan nasehat Bhatara Tri Purusa, yakni janganlah kamu lupa sampai akhir
jaman dengan tugas kewajiban, dan nasehatku ini supaya disampaikan juga kepada
anak cucu piut keturunanmu. Supaya mereka tetap taat serta melaksanakan dharma sebagai
seorang Pandita…”
I. Keturunan Mpu Ketek
Mpu Ketek menikah
dengan putrinya Ki Aryya Padang Subadra, dan dari pernikahannya ini beliau
berputra 2 orang laki-laki, yaitu yang sulung bernama Aryya Kapasekan, dan
adiknya bernama Sanghyang Pamacekan.
Dikisahkan
Arrya Kapasekan kawin dengan Ni Swararika, sesudah berada di Bali berputra 2
orang laki-laki perempuan, masing-masing bernama Ni Luh Pasek dan Kyayi Agung
Pamacekan. Seterusnya Kyayi Agung Pamacekan berputra seorang laki-laki bernama
Kyayi Agung Pamacekan, sama dengan nama ayahnya yang kemudian kembali ke Jawa.
Sang Hyang
Pamacekan menikah dengan Dewi Dwararika yakni Putri Mpu Bahula, kemudian
berputra 2 orang laki perempuan, yang sulung perempuan bernama Dewi Girinatha,
dan adiknya laki-laki bernama Mpu Pamacekan. Disebutkan bahwa Kyayi Agung
Pamacekan setelah pindah ke Bali, berputra 2 orang laki-laki, masing-maing
bernama Pasek Denpasar di Gelgel dan Pasek Gelgel. Adapun Mpu Pamacekan di Jawa
menikah dengan Ni Ayu Swani, kemudian berputra 3 orang laki perempuan, yang
tertua bernama Arrya Kepasekan, yang kedua bernama Arrya Pamacekan yang sesudah
dwijati (diksa) bergelar Mpu Jiwanatha, sedang yang bungsu perempuan bernama Ni
Ayu Ler.
Adapun
Arrya Pamacekan menikah dengan Ni Swaradangkya, lalu berputra seorang laki-laki
bernama Kyayi Gusti Agung Subadra. Seterusnya Kyayi Gusti Agung Subadra menikah
dengan Luh Pasek yang kemudian berputra 2 orang laki-laki, yang sulung bernama
Ki Pasek Tohjiwa, dan adiknya bernama Ki Pasek Padang Subadra.
Oleh Raja
Bali Sri Tapanulung yang dinobatkan pada tahun Saka 1246 (1324 M) bergelar Sri
Gajah Waktra atau Sri Gajah Wahana diangkat Amancabhumi dengan tugas pengempon
Pura Silayukti di Desa Padang. Sedang Ki Pasek Tohjiwa sebagai Amancabhumi
berkedudukan di Kejiwa bergelar I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa, menguasai suatu
daerah disebelah barat bukit Penyu dan disebelah timur Desa Bajing. Keputusan
pengangkatai ini diambil dalam rapat di Gelgel, pada hari Senin Umanis, wara
Sungsang tahun Saka 1257 (1335 M).
Pada tahun
Saka 1274 tatkala I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa ditunjuk sebagai wakil
pimpinan perutusan Samplangan ke Tapurhyang Batur untuk mendamaikan
pemberontakan orang-orang Bali Aga yang menentang pemerintahan Adipati
Samplangan Sri Kreshna Kepakisan, disana I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa menikah
dengan Luh Sadri puteri dari Ki Kayuputih salah seorang tokoh rakyat Bali Aga
dan dari pernikahannya berputra 2 orang laki perempuan. Yang sulung perempuan
bernama Luh Taru dan adiknya bernama Made Jaya. Selanjutnya dikisahkan
perkembangan dari keturunan I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa.
Kyayi Agung
Pasek Padang Subadra di Desa Padang kawin dengan Ni Luh Pasekan dari Desa
Perasi, kemudian berputra 5 orang laki-laki yaitu Ki Pasek Kurubadra, Ki Pasek
Sadri lalu melakukan tapa bratha yoga semadhi di dalam hutan di pinggir sungai
Malangit, kemudian sesudah pudgala (dwijati) bergelar Ki Dukuh Suladri sebagai
pengempon Pura Dalem Suladri, Ki Pasek Sadra yang kemudian diangkat sebagai
pimpinan desa Kusamba, Ki Pasek Tegalwangi dan yang bungsu bernama Ki Pasek
Subratha bertempat tinggal di Banjar Juntal Desa Kubu.
Di dalam
sejarah perjalanan dan perkembangan keturunan Kyayi Agung Pasek Subadra, telah
terjadi beberapa peristiwa penting, baik yang bersifat positif maupun negatif yang
dialami oleh keturunan Kyayi Agung Pasek Subadra, mulai dari Ki Pasek Padang
Subadra meninggalkan Tulamben, Gde Pasek Subratha sebagai Patih Kyayi Agung
Dhimade, Luh Pasek menikah dengan I Gusti Wayan Yasa, Made Pasek Cedok diangkat
menjadi Patih, hingga Gde Subratha ikut Pasek Gelgel di Desa Songan.
II. Keturuanan Mpu Kananda
Mpu Kananda
menikah dengan putrinya Mpu Swethawijaya, kemudian berputra seorang laki-laki
bernama Sang Kuldewa, sesudah pudgala (Dwijati) bergelar Mpu Swethawijaya, menggunakan
nama yang sama dengan kakeknya dari pradhana (pihak perempuan). Selanjutnya Mpu
Swethawijaya berputra 3 orang laki perempuan, masing-masing bernama Mangku Sang
Kul Putih, Wira Sang Kulputih, dan yang bungsu perempuan bernama Ni Ayu Swami.
Pada hari Senin
Umanis, wara Sungsang, tahun Saka 1257 (1335 M) oleh Raja Bali Sri Gajah Waktra
atau Sri Gajah Wahana, Wira Sang Kulputih diangkat menjadi pamangku di Pura
Bhasakih, beliau diiringi oleh seorang sahaya bernama I Gotha. Wira Sang
Kulputih berhasil menyusun ajaran Kapamangkuan yang diberi nama Lontar Kulputih,
yang kemudian disebut Kulpetak. Setelah Wira Sang Kulputih pudgala (dwijati)
bergelar Ki Dukuh Sorga atau Ki Dukuh Sorgga di banjar Sorgga Desa Sabudi.
Ki Dukuh
Sorga menurunkan 8 orang anak yaitu Pasek Dukuh di Ambengan banjar Badeg Desa Sabudi,
Pasek Dukuh di Banjar Dadari Taman Bagendra Desa Sabudi, Pasek Dukuh di Banjar
Bunoah Desa Ban, Pasek Dukuh di Banjar Purabukur Desa Sabudi, Pasek Dukuh di
Banjar Batukaubelong Desa Ban, Pasek Dukuh di Banjar Sudaning Desa Bhasakih.
Selanjutnya merekalah yang menurunkan Pasek yang disebut Pasek Sorga atau Pasek
Sorgga di beberapa tempat di Bali.
III. Keturunan Mpu Wiradnyana
Mpu
Wiradnyana menikah dengan putri Mpu Panataran, kemudian berputra seorang
laki-laki dan sesudah pudgala (dwijati) bergelar Mpu Wiranatha. Selanjutnya Mpu
Wiranatha menikah dengan Dewi Amertha Manggali, lalu berputra 3 orang laki
perempuan, yang sulung setelah pudgala (dwijati) bergelar Mpu Purwwanatha, yang
kedua perempuan bernama Ni Ayu Wetan, yang bungsu juga perempuan bernama Ni Ayu
Tirtha. Mpu Purwanatha kemudian berputra 2 orang laki perempuan, yang pertama
laki-laki bernama Mpu Purwwa dan adiknya perempuan bernama Ken Dedes. Kemudian
Mpu Purwwanatha dari Daha atau Kediri pindah ke Desa Panawijan, wilayah Tumapel
bersama-sama dengan Mpu lainnya karena berasa dihina oleh Raja Kediri yaitu Sri
Kerthajaya alian Sri Dangdanggenis. Sri Dangdanggenis bertahta di Kediri
sekitar tahun Saka 1116 sampai dengan 1144 (1194-1222 Masehi).
Salah satu
ketururan kesekian dari Mpu Wiradnyana yaitu Ki Pasek Tartar diceritakan
mempunyai keturunan bernama Ni Nyoman Rai Serimben yang secara niskala (gaib)
ditunjuk oleh Bhatara yang dimuliakan dan dipuja (disungsung) di Pura Baleagung
Buleleng yaitu fungsi spiritual yang berlaku disana. Fungsi ini tidak
sembarangan orang yang mendapatkannya, karena merupakan pilihan dari yang
dipuja di Pura tersebut, dan seorang balian
semacam ini biasanya adalah seorang gadis. Karena fungsinya tersebut tidak ada
lelaki yang berani menikahi Ni Nyoman Rai Sarimben karena akan diberikan
hukuman adat bagi siapapun yang berani menikahinya.
Seorang Guru
SD No.1 di Banjar Paketan bernama R. Sukemi Sostrodiharjo asal dari
Tulungagung, Jawa Timur masih jejaka pada saat piodalan di Pura Baleagung
Buleleng turut menyaksikan upacara. Pada saat itu dia menyaksikan tari Rejang
yang penarinya terdiri dari Ni Nyoman Rai Serimben dan Ni Made Latri. R. Sukemi
Sostrodiharjo yang menyaksikan tarian tersebut jatuh cinta pada kedua penari,
namun akhirnya R.Sukemi Sostrodiharjo menjatuhkan pilihan kepada Ni Nyoman Rai
Serimben. Atas dasar cinta sama cinta akhirnya mereka melakukan pernikahan
dengan jalan ngerorod (kawin lari). Tidak
ada jalan lain yang bisa ditempuh karena pernikahan ini tidak dapat dilakukan
secara Islam mengingat Ni Nyoman Rai Serimben pemeluk agama Hindu yang diikat
oleh hukum adat dan R. Sukemi Sostrodiharjo pemeluk Islam yang menjalankan theosofie. Untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan maka kedua mempelai berlindung di rumah seorang anggota
polisi di Singaraja. Diceritakan bahwa dari pernikahan tersebut antara lain
melahirkan DR. Ir. Soekarno. Di lain tempat, masih banyak lagi dikisahkan keturunan-keturunan
dari Mpu Wiradnyana yang lainnya.
Demikian keturunan Mpu Ketek,
Mpu Kananda dan Mpu Wiradnyana serta perkembangannya yang diceritakan pada
Babad Pasek Jilid II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar