Jumat, 16 Maret 2012

Kunjungan Situs DAS Pakerisan

Tersentak oleh teguran salah seorang senior di kantin kampus kuning tercinta, terbersit sebuah ide di kepala saya untuk melakukan kunjungan ke beberapa situs arkeologi di wilayah Gianyar yaitu di sekitar DAS Pakerisan. DAS Pakerisan sendiri merupakan salah satu icon wisata budaya dan merupakan daerah yang meninggalkan sejarah besar bagi perkembangan Bali kuno. Sebagai seorang mahasiswa jurusan arkeologi tersentil rasanya belum pernah mengunjungi wilayah tersebut. Dengan sangat mendadak keinginan ini saya lontarkan kepada teman-teman, dan merekapun setuju . "Oke besok kita berangkat, nanti aku sms dan share di fb tentang rencana kita".
Keesokan hari perjalanan ngaret kurang lebih 1 jam dari rencana awal dan diikuti oleh 10 orang. Walau begitu, kami semua sangat bersemangat untuk menapaki perjalanan pada hari itu. Perjalanan pertama di awali dari Pura Tirta Empul, Turis asing mendominasi situs ini saat kami berada disana, ada yang melakukan ritual "melukat" seperti yang biasa dilakukan orang Bali, entah itu karena mereka percaya pada kebiasaan warga setempat atau hanya ingin mencoba saja bagaimana rasanya membasuh diri pada kolam yang disucikan, adapula turis yang hanya sekedar melihat-lihat dan mengabadikan kenangan lewat kamera yang mereka bawa. Kegiatan kami lakukan dengan pendokumentasian serta pencatatan beberapa tinggalan yang ada seperti lingga dan juga arca Lembu Nandhini. Ada satu hal yang menarik perhatian saya pada situs ini, bukan tentang tinggalan arkeologinya, namun sebuah organisasi yang dibentuk oleh masyarakatnya dalam pengelolaan objek wisatanya. Disana saya melihat bapak-bapak termasuk juga lelaki lajang melakukan pembersihan terhadap kolam ikan. Saling gotong royong mengepel kolam serta memindahkan ikan-ikan besar. Lucu, karena licinnya lumut beberapa kali hampir membuat mereka terpeleset dan terjatuh. saya baru tahu jika kolam ikan yang baru itu juga termasuk salah satu yang harus diperhatikan oleh masyarakat pengelola.
Perjalanan kedua dilanjutkan ke Candi Pegulingan yang merupakan Candi Budha yang terdapat di Bali.

Namun pada masa sekarang nampaknya Candi ini dikelola oleh masyarakat Hindu di daerah tersebut, nampak dari masyarakat sekitar yang menanyakan apakah kunjungan kami kesana apakah sudah memberitahukan Pemangku Pura sebelumya atau tidak, dan juga adanya beberapa bangunan "pelinggih" Pura yang baru. Sebuah keharmonisan yang indah tercermin pada situs ini seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Raja Udayana dahulu. Puas berkeliling dan berfoto kamipun melanjutkan perjalanan ke Candi Mangening yang terletak tidak jauh dari Tirtha Empul dan Candi Pegulingan. Ada beberapa kendala saat kami melanjutkan perjalanan yaitu turunnya hujan sehingga kami harus berteduh pada salah satu bangunan Pura dan juga salah seorang kawan kami (semug) digigit oleh anjing pada saat membeli "canang" (sesajen). Suasana sedikit mencekam dengan rintik hujan ditambah gurauan teman-teman yang lain yang mengatakan bahwa sekarang sedang musimnya rabies di Bali, jadi mungkin saya semug akan tertular rabies dan adapula yang menambahkan jika harga vaksin rabies itu sangat mahal, dengan pengetahuan yang terbatas tentang hal tersebut kami cukup waswas dengan kejadian itu. Tapi ada pula yang meyakinkan jika sebagian besar anjing di Bali sudah di vaksin ant rabies, jadi mungkin saja anjing jahanam tadi termasuk kedalam salah satunya.
Seiring dengan berhentinya hujan, kegelisahan terhadap isu rabies tersebut nampaknya juga telah berkurang dan kamipun segera mengunjungi Candi Mangening, kegiatan kami terbatas pada pendokumentasian beberapa arca yang masih asli dan Candinya sendiri yang telah mengalami pemugaran. selanjutnya kami menikmati pemandangan diseliling candi yang sangat indah dengan beberapa kolam petirthaan maupun pemandian.

Selanjutkan kami lanjutkan mengunjungi Candi Gunung Kawi. Salah satu hal yang kami syukuri menjadi mahasiswa jurusan Arkeologi adalah bisa masuk objek wisata budaya manapun dengan GRATIS (#bangga). Disini kami kembali kehujanan tetapi tetap tidak menyurutkan niat untuk tetap melihat-lihat bahkan berfoto-foto narsis. Mungkin merupakan salah satu ciri khas dari living monument dimana unsur magis di candi ini nampaknya masih kental terutama di bagian pertapaan di tebing timur. kami juga melakukan tradisi setempat dimana jika masuk ke dalamnya kami harus melalukan putaran/pradaksina pada daerah pertapaan yang terletak ditengah sebanyak tiga kali, tanpa tahu alasannya apa,kami tetap melakukan hal tersebut (#percaya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan).

Karena perut yang sudah mulai bernyanyi maka kamipun memutuskan untuk mencari tempat makan, dan akhirnya Warung bakso menjadi pilihan kami semua. Selesai makan kami beristirahat ternyata 2 orang anggota yaitu yogi bitre dan kacong mendahului untuk pulang duluan karena kesibukan pribadi, sisanya tetap semangat melanjutkan perjalanan. tapi sebelumnya saya, mia, serta yogi palotan ditemani semug melakukan perburuan daun pisang di kebun milik semug. hal ini kita lakukan terkait dengan niat kami melakukan penggalian dana yang dimotori oleh ayuk dengan berjualan nasi jinggo.
Setelah itu perjalanan kami lanjutkan menuju situs Candi Krobokan, tragis yang kami lihat, situs ini sudah mempunyai plang BCB, sudah ada tangga beton untuk menuju situs yang memang harus menuruni tebing. Namun akses penyebrangan menuju situs yang terletak di seberang sungai ternyata belum ada sehingga untuk mencapainya kita harus basah-basahan, dan kekecewaan menghapiri benah kami yang melihat kondisi situs penuh dengan semak belukar seperti tak pernah ada yang merawat. Jauh berbeda dengan kondisi Candi Gunung Kawi yang terawat dengan baik.

Selesai dokumentasi kami melanjutkan perjalanan ke situs terakhir yaitu Pura Pengukur-ukuran. disini terdapat Prasada yang mirib dengan Prasada Mangening. Juga terdapat batu dengan cap sepasang kaki manusia yang menurut mitos masyarakat setempat merupakan bekas jejak kaki Kebo Iwa, tapi sayang sepertinya batu itu telah dipindahkan dan kami tidak tahu dipindahkan kemana, disini pemandangannya sangat indah terutama di bagian bawah pura yang terdapat ceruk seperti ceruk pertapaan.

Puas menikmati pemandangan disana dan beristirahat, perjalananpun kami akhiri lalu pulang ke rumah masing-masing.

-SEKIAN-