PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan Kabupaten Gianyar,
merupakan tempat yang tidak asing lagi di telinga para arkeolog maupun
wisatawan, karena banyaknya tinggalan arkeologi yang terdapat disekitarnya yang
kini telah dimanfaatkan menjadi daya tarik wisata dan juga DAS Pekerisan
sendiri kini sedang diusulkan sebagai warisan budaya dunia atau "world
culture heritage". Sejumlah candi tebing berjejer menghiasi dinding-dinding
aliran sungai tersebut seperti Candi Gunung Kawi, Candi Kerobokan,
Candi Kelebutan, dan Candi Jukut Paku. Sejak tahun 1921 tinggalan-tinggalan di
sekitar DAS Pakerisan dan Petanu telah diinventarisasi oleh W.F. Stutterheim
dan hasilnya dimuat dalam majalah Oudheidkundig
Verslag tahun 1925 dan 1927.
Banyaknya
tinggalan arkeologi yang terdapat disekitar wilayah DAS Pakerisan ini merupakan
bentuk nyata kepercayaan masyarakat Bali pada masa lalu yang menganut agama
Hindu atau
sering disebut sebagai Agama Tirtha
dimana air merupakan unsur penting dalam setiap ritual keagamaan, maka tidak
mengherankan bahwa bangunan-bangunan suci pada masa Bali Kuna letaknya sebagian
besar dekat dengan sumber air maupun memiliki petirtaan.
Seperti
halnya Pura Tirtha Empul yang memiliki sumber mata air yang sejak dahulu sumber
mata air tersebut selain dimanfaatkan untuk ritual keagamaan dan tempat suci
juga dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat sebagai permandian dan sumber air irigasi pertanian masyarakat sekitarnya. Pemanfaatan air ini memang sangat penting karena air
merupakan sumber kehidupan utama yang terdapat di bumi. Pengaturan terhadap
setiap keperluan akan air sudah dilakukan oleh masyarakat Bali sejak jaman
dahulu dimana dalam setiap pemanfaatannya diusahakan agar selalu memperhatikan
kelestarian dan kebersihan dari air tersebut. Itupula yang melatarbelakangi
pembangunan candi tebing di pinggiran sungai Pakerisan dimana fungsi candi pada
lansekap di daerah aliran sungai tidak semata sebagai tempat pemujaan tetapi merupakan
bagian dari kearifan masyarakat pada masa lampau dalam menyikapi kesucian
sungai dan keselamatan DAS (Geria, 2006).
Kehidupan manusia sangat
tergantung pada alam, maka dari itu suatu keharmonisan sangatlah penting untuk
diperhatikan pada setiap pengolahan alam yang dilakukan oleh manusia, baik itu
untuk keperluan sandang, pangan, papan serta untuk kebutuhan rohani maupun
jasmani. Situs arkeologi sebagai suatu hasil karya manusia masa lampau yang
kaya akan nilai sejarah, budaya serta pendidikan yang erat kaitannya dengan
lingkungan alam sudah seharusnya dilindungi keberadaannya dari kerusakan
tangan-tangan jahil maupun bencana alam. Perhatian terhadap lansekap suatu
situs kini nampaknya sedang gencar diperhatikan oleh para peneliti dalam
mengkaji hubungan serta pengaruh dari suatu bentanglahan terhadap keberadaan
situs maupun sebaliknya, hal ini dimaksudkan agar kedepannya para peneliti
maupun ahli mampu mencari solusi setiap permasalahan yang mungkin ditimbulkan
oleh dua aspek yang saling berkaitan tersebut.
Jika membahas tentang lansekap
maka tidak akan dapat terlepas dari pengertian landskap itu sendiri menurut
para ahli lanskap secara umum memiliki makna yang hampir sama dengan istilah
bentanglahan, fisiografi, dan lingkungan. Perbedaan diantara ketiganya terletak
pada aspek interpretasinya dimana bentanglahan di dalamnya terdapat unit-unit
bentuklahan (landforms) merupakan
dasar keseragaman (similaritas) maupun perbedaan (diversitas) unsur-unsurnya
yang memberi gambaran fisiografis atas suatu wilayah (Yuwono, 2007).
Dengan adanya kemajuan di
bidang ilmu pengetahun yang tidak pernah puas akan suatu ilmu yang bersifat
dinamis serta terus-menerus berkembang maka persinggungan antara ilmu geografi
dengan ilmu arkeologi kini telah melahirkan ilmu baru yaitu arkeologi lansekap
yang merupakan inti dari permasalahan di atas. Arkeologi lansekap pada awalnya
berkembang di Eropa, penerapan pendekatan ilmu ini memberikan banyak keuntungan
bukan hanya bagi arkeologi melainkan juga bagi kajian geografi manusia dimana
manusia banyak berurusan dengan cara-cara manusia mengekploitasi dan
memodifikasi habitatnya, pola pemukiman, pasar dan jaringan komunikasi serta
kecenderungan-kecenderungan demografik. Di sisi lain, arkeologi lebih menitik
beratkan penelitiannya pada wilayah-wilayah yang memiliki bukti-bukti budaya
bendawi, antara lain melalui ekskavasi atau rekonstruksi ekologi (Yuwono,
2007).
Di wilayah sepanjang DAS
Pakerisan tersebar begitu banyak tinggalan arkeologi salah satunya yaitu Candi
Mengening yang terdapat di Pura Mengening. Lokasi situs yang tidak dapat
dilepaskan dengan lansekap disekitarnya berupa air yang difungsikan untuk
berbagai hal mulai dari petirtaan hingga permandian yang terletak di bagian
bawah Pura serta lereng yang cukup terjal dengan pemandangan yang ditata
sedemikian rupa sehingga memunculkan kesan indah serta damai membuat penulis
tertarik untuk mengkaji hubungan lingkungan dengan keberadaan situs yang
diperkirakan berasal dari masa pemerintahan Anak Wungsu tersebut.
PEMBAHASAN
Kecamatan Tampaksiring
merupakan sebuah Kecamatan terletak pada dataran tinggi yang subur dengan jenis
vegetasi yang beraneka ragam karena wilayahnya yang dialiri oleh DAS Pakerisan.
Situs-situs tinggalan arkeologi juga banyak tersebar di wilayah ini terutama
situs-situs yang merupakan tempat suci seperti Pura dan Candi. Hal ini
merupakan suatu perwujudan dari konsep tradisi megalithik yaitu pemujaan kepada
dewa maupun leluhur yang biasanya ditempatkan pada tempat-tempat tinggi atau
gunung.
Gb. Wilayah Tampaksiring (Sumber: Google Earth)
Pura Mengening terletak di Desa
Pakraman Saraseda, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Disebelah utara
Pura Mengening terdapat Pura Tirta Empul, di sebelah selatannya terletak Candi
Gunung Kawi, di sebelah barat pada sebuah lembah terdapat sebuah mata air dan
oleh penduduk disebut Yeh Mengening.
Air tersebut mengalir ke permukaan, kemudian mengalir ke arah selatan melalui
sebuah lembah yang lebih rendah, dan akhirnya bermuara ke sungai Pakerisan (Bagus, 2007). Situs Pura
Mengening dijadikan sebagai Cagar Budaya oleh Pemprop Bali berdasarkan UU
No.5/1985.
Candi
Yeh Mengening
yang terdapat pada Pura
Mengening dibangun pada lembah sungai Pakerisan yang agak
dalam dengan tebing-tebingnya yang agak terjal, pada awalnya candi ini ditemukan dalam keadaan tidak
utuh.
Hasil pengamatan Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali (BP3) pada tahun 1982 hanya menemukan
komponen bangunan, dua buah arca yang diletakkan di kiri dan di kanan bilik
bangunan, dan beberapa sisa bangunan lainnya. Dari bukti-bukti tersebut
kemudian dilakukan ekskavasi penyelamatan dan ditemukan ruangan atau bilik
candi pada kedalaman 50 cm, ditemukan lingga yoni dan di bawahnya ditemukan
padagingan dalam tiga wadah berupa cepuk
(Astawa, 2007).
Candi
Yeh Mengening didirikan
pada lereng tebing sebelah timur
dengan pembangunannya pada zaman dahulu begitu memperhatikan
tidak hanya dari segi religi namun juga dari segi keindahan lingkungannya. Hal
ini dapat dilihat dari pola susunan tanah yang berbentuk sengkedan dan terdapat
kolam-kolam di tebing bagian bawah, semuanya tertata dengan rapi sehingga dapat
memanjakan mata yang memandang serta menimbulkan kesan damai dengan gemericik
suara air pada kolam-kolam tersebut.
Selain terdapat candi, di
situs Pura Mengening juga ditemukan sebuah lingga yoni yang kondisinya sudah
rusak sehingga cukup sulit untuk diteliti seperti bentuk utuh lingga yoni dan
apa ragam hias yang ditonjolkan,
walaupun demikian lingga yoni tersebut kini ditempatkan di dalam ruangan
candi dan sangat disakralkan oleh masyarakat penyungsungnya dan hanya bisa
dibuka pada saat upacara (piodalan).
Prasasti yang dikaitkan
dengan Candi Mangening adalah prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Saka atau 1022 Masehi, menggunakan aksara
atau bahasa jawa kuna dan dikeluarkan oleh raja Marakata, (Goris,1954:15).
Dalam prasasti ini disebutkan wakil-wakil desa Batuan menghadap dan melaporkan
kepada raja almarhum yang dicandikan di er
wka (yang dimaksud adalah raja Udayana). Sehubungan dengan er wka, ada yang memperkirakan adalah Candi
Mangening, er artinya air bahasa
daerahnya yeh, sedangkan wka artinya anak atau cening, sehingga menjadi yeh cening, lama-lama berubah menjadi
Yeh Mengening (Bagus, 2007).
Dibandingkan dengan situs
petirthaan lainnya yang terdapat di DAS Pakerisan, situs Pura Mangening memiliki
sumber mata air yang terbanyak karena memang terletak pada badan bukit yang
merupakan tempat strategis bagi sumber-sumber mata air untuk muncul ke
permukaan tanah. Tercatat ada sebelas sumber mata air yang disucikan disebut tirtha ditampung pada kolam suci
kemudian dialirkan pada masing-masing pancoran untuk digunakan dalam ritual
agama Hindu. Sebagian besar sumber mata air tersebut muncul diantara sela-sela
akar pohon besar yang tumbuh di dinding tebing di sekitar Pura. Air yang
dialirkan ke pancoran ditambung di kolam dan air luapan dari kolam tersebut dialirkan
melalui selokan menuju ke sungai Pakerisan yang dimanfaatkan untuk mengairi persawahan
di Desa Tampaksiring, Bedulu, Pejeng dan sekitarnya.
Pura Mengening terletak di
lembah terjal sungai Pakerisan, dengan vegetasi yang tumbuh maupun ditanam oleh
masyarakat disekitar situs antara lain beringin, delima,
kemiri, kelapa, enau, bambu, nangka, dsb. Semua tumbuh dan tertata tidak begitu rapi, namun
indah dipandang mata karena menimbulkan kesan hijau segar dan sejuk, ditambah
suhu lingkungan yang dingin membuat setiap orang yang mengunjungi situs ini
akan memperoleh sebuah ketenangan. Suasana seperti ini tentunya tidak akan
dapat terwujud tanpa adanya kesadaran dari masyarakat di sekitar situs akan
pentingnya pemeliharaan lingkungan yang berlandaskan atas konsep Tri Mandala
dan Tri Hita Karana serta sikap taat masyarakat terhadap awig-awig.
Dalam hal pengelolaan
sebagai daya tarik wisata, lansekap yang terdapat di situs Pura Mengening tidak
dapat disanksikan lagi keindahannya sehingga wisatawan merasa nyaman berada di
wilayah situs yang merupakan perbatasan yang saling bersinergi antara
aspek-aspek budaya dan fisik atas fenomena bentanglahan masa lalu yang masih
dijaga kelestariannya walaupun pada kenyataannya memang sudah dilakukan
konservasi di beberapa beberapa bagian terkain dengan memelihara keindahan
situs ini sebagai suatu daerah tujuan pariwisata.
Hingga kini kelestarian,
penataan serta pemanfaatan lingkungan alam situs Pura Mengening masih terjaga
dengan baik, hal ini dikarenakan konsep leluhur masyarakat Bali sejak dahulu
masih dapat dijaga dengan baik. Suatu konsep penataan tata ruang yang selalu
memperhitungkan keseimbangan (konsep Tri Hita Karana), adanya wujud ide dalam
bentuk kepercayaan juga ikut serta dalam pelestarian situs karena mempunyai
sugesti kekuatan supranatural yang dipercaya masyarakat akan memberi dampak
buruk pada mereka yang melanggarnya.
Adanya tatanan konstitusi
berupa awig-awig pada masyarakat Bali
yang merupakan tradisi turun- temurun sejak masa pemerintahan raja-raja Bali
Kuna juga berpengaruh pada prilaku serta kedisiplinan masyarakat Bali saat ini.
Awig-awig secara umum bertujuan bukan
hanya untuk menertibkan masyarakatnya dari tindak kejahatan, namun lebih kepada
menertibkan kawasan lingkungan mereka yang mencakup semua unsur-unsur yang
terdapat di dalam kawasan tersebut.
Tidak asing lagi bagi para
arkeolog maupun masyarakat Bali jika mendengar istilah Tri Mandala. Tri Mandala
merupakan suatu konsep pembagian ruang berdasakan tingkat kesucian suatu
wilayah (Nista (luar), Madya (tengah), Utama (inti)). Pada wilayah Nista
Mandala terdapat sebuah taman, disini juga terdapat sumber air suci (tirtha) yang dapat diambil oleh
masyarakat untuk keperluan agama (yadnya).
Untuk wilayah Madya Mandala terdapat beberapa bangunan seperti Bale Gong, Bale
Kulkul, Bale Pegambahan dan Bale Pegat. Sedangkan di Utama Mandala terdapat
beberapa pelinggih di antaranya
Gedong Meru Tumpang Tiga, Gedong yang merupakan sthana Batara Gunung Kawi, Gedong Limas, pelinggih Batara Tirta Empul,
Pemaruman, Bale Saka Ulu, pelinggih Batara Siwa, Bale Paselang, Bale Pecanangan
dan Bale Penganteb.
Adanya konsep-konsep seperti
ini merupakan salah satu bentuk kepedulian leluhur yang menginginkan adanya
suatu kedisiplinan dalam pengelolaan kawasan sehingga terciptalah keseimbangan.
Konsep-konsep seperti ini yang merupakan suatu kearifan lokal diterapkan oleh
masyarakat masa lalu dalam mengelola lingkungan bertujuan agar kebudayaan
ataupun lingkungan itu sendiri nantinya tetap dapat berkelanjutan (sustainable). Dan apapun dasar
kosmologis untuk pengaturan suatu masyarakat ruang, hasilnya adalah dampak
material pada praktek sehari-hari (Blake. Emma , 2001;150).
PENUTUP
Arkeologi lansekap
mengandung pengertian sebagai cabang ilmu arkeologi yang menekankan kajian
maupun pedekatannya pada lingkungan suatu situs, dimana antara fenomena
arkeologis dan geografis terjadi suatu pengolahan yang dilakukan oleh manusia
sehingga menciptakan suatu kebudayaan. Dalam perjalanannya masyarakat Bali
berusaha untuk tetap melestarikan konsep kearifan lokal yang diwarikan oleh leluhur
mereka untuk tetap menjaga kelestarian situs maupun lingkungannya agar
keseimbangan dunia (kosmos) tetap terjaga. Pengelolaan warisan budaya dengan
tetap menerapkan kearifan lokal diharapkan mampu memberi kontribusi bukan hanya
kepada manusia sebagai subjek pewaris kebudayaan melainkan juga kepada
lingkungan sekitar selaku objek dari kebudayaan tersebut. Pura Mengening yang
terletak pada lembah DAS Pakerisan sebagai objek wisata budaya telah mampu
mengajarkan penulis bahwa lingkungan alam merupakan salah satu media
pembelajaran yang sangat tepat untuk dapat menghargai dan menghormati karya
leluhur.
DAFTAR
PUSTAKA
Goris,
DR. R. 1954. Prasasti Bali I. Masa
Baru, Bandung.
Yuwono, J. Susetyo Edi, 2007. “ Kontribusi Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG)
dalam Berbagai Skala Kajian Arkeologi Lansekap”, Berkala
Arkeologi Tahun XXXVII No.2/ No.2007.
Geria, I Made, 2006. “ Kajian Arkeologi Landskap Tantangan ke Depan dalam
Pelestarian Warisan Budaya di Bali”, Forum Arkeologi No. I Mei 2006,
Balai Arkeologi Denpasar hal.8.
Tara Wiguna, I Gusti Ngurah, 2008. “Penerapan Konsep Mandala dan Tri
Angga dalam Arsitektur Candi Gunung Kawi”. Pusaka
Budaya dan Nilai-NIlai Religiusitas, Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra
Universitas Udayana.
Blake, Emma, 2001. “Constructing a Nuragic Locale : The Spatial
Relationship between Tombs and Towers in Bronze Age Sardinia”, American
Journal of Archaeology Volume 105 No. 2 April 2001.
Sumber
Internet :
(diakses tanggal 28 Desember 2011)
(diakses tanggal 28 Desember 2011)
(diakses tanggal 28 Desember 2011)