Senin, 28 November 2011

Tanggapan Terhadap Perubahan Undang-Undang Cagar Budaya

Di dalam tulisan ini memuat tentang latar belakang perubahan Undang-Undang dari MO hingga Undang-Undang No.11 tahun 2010 yang terdiri dari cakupan perubahan, perubahan paradigma, dan substansi lainnya.

Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang memiliki latar belakang sejarah yang panjang sehingga di Negara ini begitu banyak ditemukan tinggalan-tinggalan arkeologi/ tinggalan purbakala yang menarik minat para kolektor untuk mengoleksinya sehingga dapat memberi nilai prestise tersendiri bagi kehidupan sosialnya. Pada tahun 1878 lembaga kebudayaan pertama di Indonesia didirikan oleh kaum terpelajar di Jakarta dengan nama Bataviaash Genootschap van Kunsten en Wetenchapen. Tahun 1882 kegiatan kepurbakalaan ditangani oleh Comisie tot het Opsporen Verzamelen en Bewaren van Oudheidkundige Vooewerpen dan mengalami perkembangan pesat baik dalam bidang penelitian, observasi, penggambaran, ekskavasi, pemeliharaan, pengamanan, pendokumentasian dan pemugaran bangunan kuno di Indonesia. Tahun 1885, didirikan lembaga swasta bernama Archaeologische Vereeniging yang diketuai oleh Ir. J.W. Ijzerman, lembaga ini melaksanakan tugas sampai dengan tahun 1901 dengan mendirikan Commisise in Nederlandsch-Indie voor Oudheikundige Onderzoek op Java en Madoera sebagai badan yang menangani benda-benda kuna di daerah Jawa dan Madura yang diketuai oleh Dr. J.L.A. Brandes dan kemudian tahun 1913 berubah menjadi Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie yang dipimpin oleh N.J. Krom. Tahun 1916 sampai dengan 1936 Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie dipimpin oleh F.D.K. Bosch. Pada tahun 1931 Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie mengeluarkan Undang-Undang tentang penanganan peninggalan purbakala yaitu Monumenten Ordonantie staatsblad 1931 No.238. dengan adanya Undang-Undang tersebut, pengawasan dan perlindungan peninggalan purbakala menjadi mempunyai kepastian hukum. Monumenten Ordonantie staatsblad 1931 No.238 juga sempat mengalami revisi menjadi Monumenten Ordonantie staatsblad 1934 No.515.

Disini jelas dapat kita ketahui bahwa Monumenten Ordonantie staatsblad 1931 No.238 dan Monumenten Ordonantie staatsblad 1934 No.515. merupakan peraturan hasil dari pemerintah Belanda yang lama-kelamaan dipandang oleh bangsa Indonesia tidak tepat digunakan lagi dalam menangani tinggalan arkeologi karena seiring berjalannya waktu produk pemerintah Belanda ini dipandang sudah tidak sesuai dengan upaya perlindungan dan pemeliharaan demi pelestarian benda cagar budaya. Maka dengan kemerdekaan yang dapat diraih oleh bangsa Indonesia dibuatlah sebuah konstitusi baru terkait dengan benda tinggalan arkeologi yaitu Undang-Undang RI No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya beserta PP RI No.10 tahun 1993 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 5 tahun 1992.

Setelah 18 tahun Undang-Undang No.5 tahun 1992 ini digunakan sebagai pedoman maka dipandang perlu dilakukan revisi karena harus disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan serta kondisi masyarakat saat ini. Adapun beberapa masalah yang menjadi bahan revisi Undang-undang ini antara lain :
1. Di dalam Undang-undang belum tersurat definisi yang jelas dari setiap pengertian/ istilah arkeologi yang ada
2. Dalam konteks otonomi daerah belum diatue secara tegas pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dalam upaya pelestarian warisan budaya, termasuk di dalamnya partisispasi public dalam pengelolaan dan pelestarian warisan budaya
3. Hak dan kewajiban setiap stakeholder yang ada tidak diatur secara jelas dan tegas. Untuk itu diperlukan pengaturan yang jelas antara pemerintah, swasta, masyarakat ataupun kelompok lainnya.
4. Sanksi hukum yang lebih tegas juga perlu dilakukan terhadap pelaku-pelaku kejahatan yang menyebabkanpengrusakan terhadap warisan budaya yang ada.
Dengan adanya permasalahan-permasalahan terhadap Undang-Undang No.5 tahun 1992 beserta penyesuaiannya dengan perkembangan serta kondisi masyarakat saat ini maka disusunlah undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Adapun cakupan perubahan dari Undang-Undang No. 5 tahun 1992 menjadi Undang-Undang No.11 tahun 2010 mencakup beberapa aspek yaitu perbubahan pada pengertian cagar budaya, cakupan, prosedur, persyaratan serta hukuman. Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1992 disebutkan tentang Benda Cagar Budaya yaitu benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Kemudian pada Undang-Undang No. 11 tahun 2010 didanti menjadi Cagar Budaya dimana Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan kawasan Cagar Budaya di darat/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Kemudian pada poin-poin selanjutnya dijelaskan masing-masing pengertian yang terdapat pada penjelasan apa saja yang termasuk dalam Cagar Budaya tersebut, disini terlihat jelas bahwa undang-undang yang baru lebih mempertegas pengertian setiap aspek yang menjadi warisan budaya dan juga harus melalui proses penetapan untuk dapat dilindungi oleh undang-undang.

Pada Undang-Undang No.11 tahun 2010 jelas dicantumkan bagaimana cara melakukan register nasional terhadap Cagar Budaya dan oleh siapa, sedangkan pada Undang-Undang No. 5 tahun 1992 belum dijelaskan secara jelas tentang hal tersebut. Selain itu prosedur penetapan serta persyaratan Cagar Budaya juga telah dijelaskan pada pasal 33 Undang-Undang No.11 tahun 2010. Hukuman terhadap pelaku kejahatan terhadap Cagar Budaya yang tercantum pada Undang-Undang No.11 tahun 2010 juga lebih jelas dan mendetail sehingga diharapkan agar masyarakat akan berfikir dua kali jika ingin melakukan tindak kejahatan terhadap Cagar Budaya dan bagi yang melakukannya diharapkan akan dapat menimbulkan efek jera.
Adanya perubahan terhadap undang-undang ini juga tidak dapat dilepaskan dari perubahan paradigma yang berkembang di masyarakat. Dapat saya jelaskan perubahan paradigma tersebut antara lain yaitu paradima lama berorientasi hanya pada pasal 32 UUD 1945 yaitu memajukan kebudayaan nasional, namun paradigma baru selain berorientasi pada pasal 32 juga berorientasi pada pasal 33 UUD 1945 yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada paradigma lama pengaturan juga lebih ditekankan terhadap benda sebagai warisan budaya, namun paradigma baru lebih mengutamakan pengaturan terhadap aktivitas yang terjadi pada benda, kembali lagi hal ini bertujuan selain untuk menjaga kelestarian benda warisan budaya juga untuk mensejahterakan masyarakat yang berada disekitar situs dengan pengelolaan-pengelolaannya. Peran pemerintah pada paradigma lama terhadap pelestarian juga lebih dominan namun paradigma baru pelestarian yang dilakukan lebih berbasis terhadap masyarakat dimana masyarakat dapat terlibat langsung di dalam pelestarian hal ini mungkin terkait dengan pemerintahan yang dulunya lebih bersifat sentralistik namun kini sesuai dengan adanya Otonomi Daerah maka pemerintahan lebih bersifat desentralistik dimana pembagian kewenangan, serta peringkat cagar budaya diatur secara lebih jelas.

Disini jelas kita ketahui bahwa perubahan dari Undang-Undang No. 5 tahun 1992 menjadi Undang-Undang No.11 tahun 2010 lebih menekankan pada keseimbangan antara akademik, ideologik, dan ekonomik untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, sehingga Cagar Budaya di Indonesia memang benar-benar bermanfaat dalam segala aspek dan pelestariannya pun dapat dilakukan oleh semua pihak yang merasa diberikan manfaat oleh Cagar Budaya tersebut.

1 komentar:

  1. peraturan pemerintahnya tentang uu no 11 tahun 2010 ada mbak ??

    BalasHapus