Minggu, 03 Juni 2012

Arkeologi Landskap DAS Pakerisan


PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan Kabupaten Gianyar, merupakan tempat yang tidak asing lagi di telinga para arkeolog maupun wisatawan, karena banyaknya tinggalan arkeologi yang terdapat disekitarnya yang kini telah dimanfaatkan menjadi daya tarik wisata dan juga DAS Pekerisan sendiri kini sedang diusulkan sebagai warisan budaya dunia atau "world culture heritage". Sejumlah candi tebing berjejer menghiasi dinding-dinding aliran sungai tersebut seperti Candi Gunung Kawi, Candi Kerobokan, Candi Kelebutan, dan Candi Jukut Paku. Sejak tahun 1921 tinggalan-tinggalan di sekitar DAS Pakerisan dan Petanu telah diinventarisasi oleh W.F. Stutterheim dan hasilnya dimuat dalam majalah Oudheidkundig Verslag tahun 1925 dan 1927.
Banyaknya tinggalan arkeologi yang terdapat disekitar wilayah DAS Pakerisan ini merupakan bentuk nyata kepercayaan masyarakat Bali pada masa lalu yang menganut agama Hindu atau sering disebut sebagai Agama Tirtha dimana air merupakan unsur penting dalam setiap ritual keagamaan, maka tidak mengherankan bahwa bangunan-bangunan suci pada masa Bali Kuna letaknya sebagian besar dekat dengan sumber air maupun memiliki petirtaan.
Seperti halnya Pura Tirtha Empul yang memiliki sumber mata air yang sejak dahulu sumber mata air tersebut selain dimanfaatkan untuk ritual keagamaan dan tempat suci juga dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat sebagai permandian dan sumber air irigasi pertanian masyarakat sekitarnya. Pemanfaatan air ini memang sangat penting karena air merupakan sumber kehidupan utama yang terdapat di bumi. Pengaturan terhadap setiap keperluan akan air sudah dilakukan oleh masyarakat Bali sejak jaman dahulu dimana dalam setiap pemanfaatannya diusahakan agar selalu memperhatikan kelestarian dan kebersihan dari air tersebut. Itupula yang melatarbelakangi pembangunan candi tebing di pinggiran sungai Pakerisan dimana fungsi candi pada lansekap di daerah aliran sungai tidak semata sebagai tempat pemujaan tetapi merupakan bagian dari kearifan masyarakat pada masa lampau dalam menyikapi kesucian sungai dan keselamatan DAS (Geria, 2006).
Kehidupan manusia sangat tergantung pada alam, maka dari itu suatu keharmonisan sangatlah penting untuk diperhatikan pada setiap pengolahan alam yang dilakukan oleh manusia, baik itu untuk keperluan sandang, pangan, papan serta untuk kebutuhan rohani maupun jasmani. Situs arkeologi sebagai suatu hasil karya manusia masa lampau yang kaya akan nilai sejarah, budaya serta pendidikan yang erat kaitannya dengan lingkungan alam sudah seharusnya dilindungi keberadaannya dari kerusakan tangan-tangan jahil maupun bencana alam. Perhatian terhadap lansekap suatu situs kini nampaknya sedang gencar diperhatikan oleh para peneliti dalam mengkaji hubungan serta pengaruh dari suatu bentanglahan terhadap keberadaan situs maupun sebaliknya, hal ini dimaksudkan agar kedepannya para peneliti maupun ahli mampu mencari solusi setiap permasalahan yang mungkin ditimbulkan oleh  dua aspek yang saling berkaitan tersebut.
Jika membahas tentang lansekap maka tidak akan dapat terlepas dari pengertian landskap itu sendiri menurut para ahli lanskap secara umum memiliki makna yang hampir sama dengan istilah bentanglahan, fisiografi, dan lingkungan. Perbedaan diantara ketiganya terletak pada aspek interpretasinya dimana bentanglahan di dalamnya terdapat unit-unit bentuklahan (landforms) merupakan dasar keseragaman (similaritas) maupun perbedaan (diversitas) unsur-unsurnya yang memberi gambaran fisiografis atas suatu wilayah (Yuwono, 2007).
Dengan adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahun yang tidak pernah puas akan suatu ilmu yang bersifat dinamis serta terus-menerus berkembang maka persinggungan antara ilmu geografi dengan ilmu arkeologi kini telah melahirkan ilmu baru yaitu arkeologi lansekap yang merupakan inti dari permasalahan di atas. Arkeologi lansekap pada awalnya berkembang di Eropa, penerapan pendekatan ilmu ini memberikan banyak keuntungan bukan hanya bagi arkeologi melainkan juga bagi kajian geografi manusia dimana manusia banyak berurusan dengan cara-cara manusia mengekploitasi dan memodifikasi habitatnya, pola pemukiman, pasar dan jaringan komunikasi serta kecenderungan-kecenderungan demografik. Di sisi lain, arkeologi lebih menitik beratkan penelitiannya pada wilayah-wilayah yang memiliki bukti-bukti budaya bendawi, antara lain melalui ekskavasi atau rekonstruksi ekologi (Yuwono, 2007).
Di wilayah sepanjang DAS Pakerisan tersebar begitu banyak tinggalan arkeologi salah satunya yaitu Candi Mengening yang terdapat di Pura Mengening. Lokasi situs yang tidak dapat dilepaskan dengan lansekap disekitarnya berupa air yang difungsikan untuk berbagai hal mulai dari petirtaan hingga permandian yang terletak di bagian bawah Pura serta lereng yang cukup terjal dengan pemandangan yang ditata sedemikian rupa sehingga memunculkan kesan indah serta damai membuat penulis tertarik untuk mengkaji hubungan lingkungan dengan keberadaan situs yang diperkirakan berasal dari masa pemerintahan Anak Wungsu tersebut.
PEMBAHASAN
Kecamatan Tampaksiring merupakan sebuah Kecamatan terletak pada dataran tinggi yang subur dengan jenis vegetasi yang beraneka ragam karena wilayahnya yang dialiri oleh DAS Pakerisan. Situs-situs tinggalan arkeologi juga banyak tersebar di wilayah ini terutama situs-situs yang merupakan tempat suci seperti Pura dan Candi. Hal ini merupakan suatu perwujudan dari konsep tradisi megalithik yaitu pemujaan kepada dewa maupun leluhur yang biasanya ditempatkan pada tempat-tempat tinggi atau gunung.

Gb. Wilayah Tampaksiring (Sumber: Google Earth)
Pura Mengening terletak di Desa Pakraman Saraseda, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Disebelah utara Pura Mengening terdapat Pura Tirta Empul, di sebelah selatannya terletak Candi Gunung Kawi, di sebelah barat pada sebuah lembah terdapat sebuah mata air dan oleh penduduk disebut Yeh Mengening. Air tersebut mengalir ke permukaan, kemudian mengalir ke arah selatan melalui sebuah lembah yang lebih rendah, dan akhirnya bermuara ke  sungai Pakerisan (Bagus, 2007). Situs Pura Mengening dijadikan sebagai Cagar Budaya oleh Pemprop Bali berdasarkan UU No.5/1985.
Candi Yeh Mengening yang terdapat pada Pura Mengening dibangun pada lembah sungai Pakerisan yang agak dalam dengan tebing-tebingnya yang agak terjal, pada awalnya candi ini ditemukan dalam keadaan tidak utuh. Hasil pengamatan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali (BP3) pada tahun 1982 hanya menemukan komponen bangunan, dua buah arca yang diletakkan di kiri dan di kanan bilik bangunan, dan beberapa sisa bangunan lainnya. Dari bukti-bukti tersebut kemudian dilakukan ekskavasi penyelamatan dan ditemukan ruangan atau bilik candi pada kedalaman 50 cm, ditemukan lingga yoni dan di bawahnya ditemukan padagingan dalam tiga wadah berupa cepuk (Astawa, 2007).
Candi Yeh Mengening didirikan pada lereng tebing sebelah timur dengan pembangunannya pada zaman dahulu begitu memperhatikan tidak hanya dari segi religi namun juga dari segi keindahan lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dari pola susunan tanah yang berbentuk sengkedan dan terdapat kolam-kolam di tebing bagian bawah, semuanya tertata dengan rapi sehingga dapat memanjakan mata yang memandang serta menimbulkan kesan damai dengan gemericik suara air pada kolam-kolam tersebut.
Selain terdapat candi, di situs Pura Mengening juga ditemukan sebuah lingga yoni yang kondisinya sudah rusak sehingga cukup sulit untuk diteliti seperti bentuk utuh lingga yoni dan apa ragam hias yang ditonjolkan,  walaupun demikian lingga yoni tersebut kini ditempatkan di dalam ruangan candi dan sangat disakralkan oleh masyarakat penyungsungnya dan hanya bisa dibuka pada saat upacara (piodalan).
Prasasti yang dikaitkan dengan Candi Mangening adalah prasasti Batuan yang berangka tahun  944 Saka atau 1022 Masehi, menggunakan aksara atau bahasa jawa kuna dan dikeluarkan oleh raja Marakata, (Goris,1954:15). Dalam prasasti ini disebutkan wakil-wakil desa Batuan menghadap dan melaporkan kepada raja almarhum yang dicandikan di er wka (yang dimaksud adalah raja Udayana). Sehubungan dengan er wka, ada yang memperkirakan adalah Candi Mangening, er artinya air bahasa daerahnya yeh, sedangkan wka artinya anak atau cening, sehingga menjadi yeh cening, lama-lama berubah menjadi Yeh Mengening (Bagus, 2007).
Dibandingkan dengan situs petirthaan lainnya yang terdapat di DAS Pakerisan, situs Pura Mangening memiliki sumber mata air yang terbanyak karena memang terletak pada badan bukit yang merupakan tempat strategis bagi sumber-sumber mata air untuk muncul ke permukaan tanah. Tercatat ada sebelas sumber mata air yang disucikan disebut tirtha ditampung pada kolam suci kemudian dialirkan pada masing-masing pancoran untuk digunakan dalam ritual agama Hindu. Sebagian besar sumber mata air tersebut muncul diantara sela-sela akar pohon besar yang tumbuh di dinding tebing di sekitar Pura. Air yang dialirkan ke pancoran ditambung di kolam dan air luapan dari kolam tersebut dialirkan melalui selokan menuju ke sungai Pakerisan yang dimanfaatkan untuk mengairi persawahan di Desa Tampaksiring, Bedulu, Pejeng dan sekitarnya.
Pura Mengening terletak di lembah terjal sungai Pakerisan, dengan vegetasi yang tumbuh maupun ditanam oleh masyarakat disekitar situs antara lain beringin, delima, kemiri, kelapa, enau, bambu, nangka, dsb. Semua tumbuh dan tertata tidak begitu rapi, namun indah dipandang mata karena menimbulkan kesan hijau segar dan sejuk, ditambah suhu lingkungan yang dingin membuat setiap orang yang mengunjungi situs ini akan memperoleh sebuah ketenangan. Suasana seperti ini tentunya tidak akan dapat terwujud tanpa adanya kesadaran dari masyarakat di sekitar situs akan pentingnya pemeliharaan lingkungan yang berlandaskan atas konsep Tri Mandala dan Tri Hita Karana serta sikap taat masyarakat terhadap awig-awig.
Dalam hal pengelolaan sebagai daya tarik wisata, lansekap yang terdapat di situs Pura Mengening tidak dapat disanksikan lagi keindahannya sehingga wisatawan merasa nyaman berada di wilayah situs yang merupakan perbatasan yang saling bersinergi antara aspek-aspek budaya dan fisik atas fenomena bentanglahan masa lalu yang masih dijaga kelestariannya walaupun pada kenyataannya memang sudah dilakukan konservasi di beberapa beberapa bagian terkain dengan memelihara keindahan situs ini sebagai suatu daerah tujuan pariwisata.
Hingga kini kelestarian, penataan serta pemanfaatan lingkungan alam situs Pura Mengening masih terjaga dengan baik, hal ini dikarenakan konsep leluhur masyarakat Bali sejak dahulu masih dapat dijaga dengan baik. Suatu konsep penataan tata ruang yang selalu memperhitungkan keseimbangan (konsep Tri Hita Karana), adanya wujud ide dalam bentuk kepercayaan juga ikut serta dalam pelestarian situs karena mempunyai sugesti kekuatan supranatural yang dipercaya masyarakat akan memberi dampak buruk pada mereka yang melanggarnya.
Adanya tatanan konstitusi berupa awig-awig pada masyarakat Bali yang merupakan tradisi turun- temurun sejak masa pemerintahan raja-raja Bali Kuna juga berpengaruh pada prilaku serta kedisiplinan masyarakat Bali saat ini. Awig-awig secara umum bertujuan bukan hanya untuk menertibkan masyarakatnya dari tindak kejahatan, namun lebih kepada menertibkan kawasan lingkungan mereka yang mencakup semua unsur-unsur yang terdapat di dalam kawasan tersebut.
Tidak asing lagi bagi para arkeolog maupun masyarakat Bali jika mendengar istilah Tri Mandala. Tri Mandala merupakan suatu konsep pembagian ruang berdasakan tingkat kesucian suatu wilayah (Nista (luar), Madya (tengah), Utama (inti)). Pada wilayah Nista Mandala terdapat sebuah taman, disini juga terdapat sumber air suci (tirtha) yang dapat diambil oleh masyarakat untuk keperluan agama (yadnya). Untuk wilayah Madya Mandala terdapat beberapa bangunan seperti Bale Gong, Bale Kulkul, Bale Pegambahan dan Bale Pegat. Sedangkan di Utama Mandala terdapat beberapa pelinggih di antaranya Gedong Meru Tumpang Tiga, Gedong yang merupakan sthana Batara Gunung Kawi, Gedong Limas, pelinggih Batara Tirta Empul, Pemaruman, Bale Saka Ulu, pelinggih Batara Siwa, Bale Paselang, Bale Pecanangan dan Bale Penganteb.
Adanya konsep-konsep seperti ini merupakan salah satu bentuk kepedulian leluhur yang menginginkan adanya suatu kedisiplinan dalam pengelolaan kawasan sehingga terciptalah keseimbangan. Konsep-konsep seperti ini yang merupakan suatu kearifan lokal diterapkan oleh masyarakat masa lalu dalam mengelola lingkungan bertujuan agar kebudayaan ataupun lingkungan itu sendiri nantinya tetap dapat berkelanjutan (sustainable). Dan apapun dasar kosmologis untuk pengaturan suatu masyarakat ruang, hasilnya adalah dampak material pada praktek sehari-hari (Blake. Emma , 2001;150).

PENUTUP
Arkeologi lansekap mengandung pengertian sebagai cabang ilmu arkeologi yang menekankan kajian maupun pedekatannya pada lingkungan suatu situs, dimana antara fenomena arkeologis dan geografis terjadi suatu pengolahan yang dilakukan oleh manusia sehingga menciptakan suatu kebudayaan. Dalam perjalanannya masyarakat Bali berusaha untuk tetap melestarikan konsep kearifan lokal yang diwarikan oleh leluhur mereka untuk tetap menjaga kelestarian situs maupun lingkungannya agar keseimbangan dunia (kosmos) tetap terjaga. Pengelolaan warisan budaya dengan tetap menerapkan kearifan lokal diharapkan mampu memberi kontribusi bukan hanya kepada manusia sebagai subjek pewaris kebudayaan melainkan juga kepada lingkungan sekitar selaku objek dari kebudayaan tersebut. Pura Mengening yang terletak pada lembah DAS Pakerisan sebagai objek wisata budaya telah mampu mengajarkan penulis bahwa lingkungan alam merupakan salah satu media pembelajaran yang sangat tepat untuk dapat menghargai dan menghormati karya leluhur.

DAFTAR PUSTAKA
Goris, DR. R. 1954. Prasasti Bali I. Masa Baru, Bandung.
Yuwono, J. Susetyo Edi, 2007. “ Kontribusi Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam Berbagai Skala Kajian Arkeologi Lansekap”, Berkala Arkeologi Tahun XXXVII No.2/ No.2007.
Geria, I Made, 2006. “ Kajian Arkeologi Landskap Tantangan ke Depan dalam Pelestarian Warisan Budaya di Bali”, Forum Arkeologi No. I Mei 2006, Balai Arkeologi Denpasar hal.8.
Tara Wiguna, I Gusti Ngurah, 2008. “Penerapan Konsep Mandala dan Tri Angga dalam Arsitektur Candi Gunung Kawi”. Pusaka Budaya dan Nilai-NIlai Religiusitas, Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Blake, Emma, 2001. “Constructing a Nuragic Locale : The Spatial Relationship between Tombs and Towers in Bronze Age Sardinia”,  American Journal of Archaeology Volume 105 No. 2 April 2001.
Sumber Internet :
(diakses tanggal 28 Desember 2011)
(diakses tanggal 28 Desember 2011)
(diakses tanggal 28 Desember 2011)

CANDI MENGENING (HUBUNGAN SITUS, LANSKAP DAN LINGKUNGAN SEKITAR)


 
Letak dan Lingkungan

Candi Yeh Mangening terletak di Banjar Sarasada, Desa Tampaksiring, Kec. Tampaksiring, Kab.Gianyar. Candi Yeh Mangening dibangun pada lembah sungai Pakerisan yang agak dalam dengan tebing-tebingnya yang agak terjal. Candi ini didirikan pada lereng tebing sebelah timur yang merupakan saksi sejarah masa lalu (Bali Kuno, 10-13 M). Tempat Candi Mangening didirikan telah diperhitungkan dengan seksama oleh pendirinya, tidak saja dari segi religi tetapi juga dari keindahan lingkungan. Di Lokasi Candi Mangening ini didirikan Pura, disebut Pura Yeh Mangening. Di sebelah utara dari candi Mangening adalah Tirta Empul, disebelah selatannya terdapat komplek Candi Tebing Gunung Kawi dan disebelah barat terdapat Pura Sakenan, di dalamnya banyak menyimpan arca-arca kuna. Tataguna tanah pada situs Candi Yeh Mangening, ada dimanfaatkan untuk pertanian, perkebunan, pada bagian tebing ditanami berbagai jenis vegetasi yang keras.

b.      Tinggalan Arkeologi
Tinggalan arkeologi yang terdapat di Candi Yeh Mangening adalah sebagai berikut.
1.      Candi
Candi yang ketika ditentukan dalam kondisi tidak utuh, yang tinggal hanya bagian struktur kaki candi saja. Dan hasil penelitian tahun 1982 oleh BP3 Bali. Candi Mangening dapat dipugar kembali seperti ada sekarang ini
2.      Lingga Yoni
Lingga Yoni ditempatkan di ruangan candi sangat disakralkan oleh masyarakat penyungsungnya dan hanya bisa dibuka pada saat upacara (piodalan).
Prasasti yang dikaitkan dengan Candi Mangening adalah prasasti Batuan yang berangka tahun  944 Saka atau 1022 Masehi, menggunakan aksara atau bahasa jawa kuna dan dekeluarkan oleh raja Marakata, (Goris,1954:15). Dalam prasasti ini disebutkan wakil-wakil desa batuan menghadap dan melaporkan kepada raja almarhum yang dicandikan di er wka (yang dimaksud adalah raja Udayana). Penduduk desa Batuan yang ditugaskan memelihara kebun raja almarhum yang terletak di er paku dan menyelenggarakan upacara di kuil Baturan. Menyadari betapa berat tugas itu, maka merekadibebaskan dari pajak-pajak tertentu(Suarbhawa, 2003:13). Sehubungan dengan er wka, ada yang memperkirakan adalah candi Mangening, er artinya air bahasa daerahnya yeh, sedangkan wka artinya anak atau cening, sehingga menjadi yeh cening, lama-lama berubah menjadi Yeh Mangening adalah candi Raja Udayana yang berasal dari abad ke 10 Masehi.


c.       Sumber Air
Candi Yeh Mangening ini dibangun pada lembah sungai Pakerisan yang memiliki sumber mata air paling banyak diantara situs-situs lainnya. Sumber-sumber mata air ini disucikan oleh masyarakat sehingga disebut tirtha. Semua sumber mata air suci di Candi Yeh Mangening ini ditampung pada kolam suci, selanjutnya airnya dialirkan melalui pancoran-pancoran yang ada pada setiap kolam suci. Air suci yang dialirkan melalui pancoran tersebut digunakan dalam upacara ritual agama Hindu. Adapun sumber-sumber mata air yang disucikan dan digunakan sebagai tirtha adalah sebagai berikut.
1.      Tirtha Kamaning
2.      Tirtha Keris
3.      Tirtha Keben
4.      Tirtha Dedari
5.      Tirtha Angsoka
6.      Tirtha Melela
7.      Tirtha Sudamala
8.      Tirtha Arum
9.      Tirtha Merta Sari
10.  Tirtha Telaga Waja
11.  Tirtha Pengelebur Dasa Mala

Luapan sumber-sumber mata air ini ditampung pada kolam (sumur) serapan yang selanjutnya dialirkan melalui selokan menuju ke sungai Pakerisan yang dimanfaatkan untuk mengairi persawahan di Desa Tampaksiring, Pejeng, Bedulu, dan sekitarnya.
 
d.      Vegetasi
Jenis-jenis vegetasi yang ditanam di sekitar situs yaitu : beringin, pole, delima, kemiri, pangi, kelapa, enau, bambu, tehep, nangka, majagau. Pohon yang dikeramatkan adalah pohon beringin dan dibawahnya terdapat sumber mata air, oleh masyarakat disebut Tirtha Kamaning dan Keris. Di tempat sumber mata air ini dibangun pelinggih Dewi Gangga. Mengenai pepohonan yang ada di sekitar situs tidak diperkenankan menebang atau mencari sembarangan karena dilindungi oleh aturan adat, bagi masyarakat yang melanggar dikenakan sangsi adat berupa upacara.

Analisis Bangunan Berdasarkan Fungsi Arsitektur “Building Task”



Gb. Jineng/Klumpu Tradisional Desa Bayung Gede,  Kec. Kintamani, Kab. Bangli
Sumber gambar : http://baliluwih.blogspot
Hasil Analisis Berdasarkan Fungsi Arsitektur “Building Task”
1.      Dari segi Artistik Form :
Bahan baku bangunan jineng sebagian besar menggunakan bahan baku dari kayu. Arsitektur bangunan jineng nampak terlihat indah pada bagian atap yang terbuat dari batang bambu, dipasang secara vertikal dan potongan-potongan bambu  tersebut dipotong meruncing simetris dengan ukuran yang sama disusun berjajar semakin atas semakin meruncing mirib bentuk piramida. Selain itu pada bagian badan jineng dibangun atas tiang-tiang penyangga yang disusun rapi dengan dinding yang terbuat dari triplek. Secara umum bentuk tipologi jineng menyerupai rumah panggung dengan jumlah tiang sebagai kaki penyangga sebanyak empat buah.
2.      Dari segi Container          :
Fungsi jineng secara umum pada masyarakat Bali adalah sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen berupa padi dan biji-bijian yang diletakkan pada bagian atap, maka dari itu atap jineng dibuat besar dan terdapat ruangan di dalamnya, biasanya digunakan alat bantu tangga untuk mencapai atap, yang dibuat terpisah dan ada pula yang menyatu dengan bangunan jineng. Bagian badan jineng berbentuk segi empat seperti bale bengong yang difungsikan sebagai tempat bersantai bagi pemilik rumah.
3.      Dari segi Climatic Modifier :
Bangunan jineng yang terdapat di Desa Bayung Gede terletak pada daerah dingin, penggunaan kayu merupakan bahan baku alami yang mudah di dapatkan disekitar desa, selain itu penggunaan kayu ini juga bermanfaat karena suhu yang dihasilkan akan lebih hangat sehingga hasil panen dapat terlindungi dari cuaca dan iklim buruk, penataan atap yang dipasang secara rapat juga berfungsi agar binatang pengerat yang berusaha memakan hasil panen tidak dapat masuk ke atap tempat penyimpanan hasil panen. Bagian badan yang seperti bale bengong dibuat terbuka agar pemilik rumah dapat bersantai bersama dengan keluarganya dimana angin akan dapat terasa sejuk bagi orang-orang yang sedang beristirahat di jineng.
4.      Dari segi Environmental Filter :
Pengunaan bahan baku dari kayu dan bambu juga disesuaikan berdasarkan tanaman yang mudah ditemukan di sekitar daerah Bayung Gede, selain itu penggunaan kayu juga merupakan aspek pelestarian yang dijaga penggunaannya oleh masyarakat setempat dan memberikan daya tarik bagi orang di luar Desa Bayung Gede yang juga merupakan ciri khas bangunan jinengnya dengan atap yang terbuat dari Bambu.
5.      Dari segi Cultural Symbolization :
Simbol budaya pada bangunan jineng dapat dilihat dari bentuk arsitektur bangunan dan bahan baku bangunan maupun atapnya. Pengunaan jineng sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen merupakan kebudayaan asli masyarakat Bali dengan penduduknya yang bermata pencaharian sebagai petani. Bahan baku bambu juga melimpah banyak didapatkan di sekitar daerah Bangli sehingga merupakan ciri khas budaya dengan menggunakan atap dari bahan bambu. Sebagai contoh daerah lain di Bangli yang bangunan atapnya terbuat dari bambu adalah di Desa Penglipuran.


Sabtu, 02 Juni 2012

Arkeologi Publik (Candi Kerobokan)


Bali merupakan daerah pariwisata yang kaya akan budaya salah satunya yaitu berupa tinggalan arkeologi (warisan budaya masa lalu). Tinggalan arkeologi yang terdapat di Bali sangat beragam dan berasal dari kurun waktu yang berbeda. Ada yang berasal dari masa  prasejarah, klasik, Islam dan ada pula yang berasal dari masa kolonial. Namun tinggalan arkeologi yang paling banyak adalah berasal dari masa prasejarah dan klasik. Adapun daerah yang paling kaya dengan tinggalan arkeologi diantara adalah daerah aliras sungai (DAS) Petanu dan Pakerisan, Gianyar.
Tinggalan arkeologi diantara DAS Petanu dan Pakerisan sejak tahun 1921 telah diinventarisasi oleh W.F. Stutterheim dan hasilnya dimuat dalam majalah Oudheidkundig Verslag tahun 1925 dan 1927. Kegiatan inventarisasi selanjutnya ditangani oleh Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang sekarang telah berganti nama menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali, wilayah kerja Bali, NTB, NTT.
Candi memiliki arti penting tersendiri bagi masyarakat di Bali. Seperti Candi Gunung Kawi yang terdapat Pura sebagai tempat bersembahyang di dalamnya dan Candi Pegulingan yang setelah dipugar dimanfaatkan kembali oleh umat Hindu sebagai tempat bersembahyang, padahal pada awalnya candi ini merupakan candi peninggalan umat Budha. Candi-candi tadi merupakan contoh dari candi yang bernasib baik karena mendapat perawatan secara tidak langsung oleh masyarakat terkait dengan keberadaannya yang masih difungsikan (Living Monument).
Berbeda halnya dengan Candi Kerobokan yang kini telah menjadi dead monument. Keberadaannya walaupun telah mendapat pelestarian dan perlindungan dari Undang-Undang ternyata belum menjamin keterawatan dari situs ini. Terbukti dengan pengelolanan situs yang belum maksimal dan belum lengkapnya sarana serta prasarana penunjang keberadaan situs. Letak situs yang cukup jauh dari pemukiman penduduk dan akses yang sulit menuju situs nampaknya merupakan salah satu faktor penyebab Candi ini jauh dari jangkauan dan perhatian masyarakat.
Berbagai aspek tentang pengelolaan dan pelestarian terhadap situs Candi Kerobokan nampaknya harus dikaji kembali agar situs yang telah mendapat perlindungan Undang-Undang ini tak semata-mata hanya menjadi wacana pemerintah, namun langkah nyata dari pelestarian sendiri sangat diperlukan agar warisan budaya yang luhur peninggalan nenek moyang tidak hancur begitu saja dan pada jangka panjang generasi penerus bangsa nantinya tidak akan kehilangan jati diri akibat krisis budaya.
Adanya candi pada tebing pada dinding sungai juga merupakan sebuah kerifan dari pemanfaatan dan pelestarian alam oleh masyarakat masa lalu karena merupakan sebuah konsep pengaturan tata ruang. Karena keberadaan Candi sebagai tempat suci di pinggir sungai akan dapat menjaga kesucian sungai sebagai sumber air dari pencemaran yang dilakukan oleh manusia. Jadi fungsi candi pada daerah aliran sungai tidak semata sebagai tempat pemujaan tetapi merupakan bagian dari kerifan masyarakat pada masa lampau dalam menyikapi kesucian sungai dan keselamatan DAS (Geria,2006).
Berdasarkan hal-hal yang sangat kompleks terkait dengan keberadaan situs dan lingkungannya, maka hal-hal yang menyangkut pengelolaan harus lebih diperhatikan. Kondisi situs Candi Kerobokan saat ini sangat memprihatinkan.
                                  Gb. Candi Kerobokan yang Tidak Terpelihara

Melihat kondisi yang demikian tidak mengherankan lagi karena akses menuju situs sendiri sangat menantang dan cukup membahayakan sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat dalam pemeliharaannya.
                                  Gb. Akses Menuju Situs Harus Menyebrangi Sungai Pakerisan

Indonesia sebagai negara konstitusi dimana terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur sendi-sendi pemerintahannya telah mengeluarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam Undang-Undang ini telah dijelaskan bahwa Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Kini pengelolaan situs Candi Kerobokan ditangani oleh pihak BP3 Bali, wilayah kerja Bali, NTB dan NTT.
Keberadaan situs dengan kondisi seperti ini berdasarkan pengamatan penulis disebabkan oleh begitu banyaknya situs yang harus ditangani oleh BP3 sehingga tidak semuanya terjangkau secara maksimal. Sedangkan perawatannya selain dengan adanya Jupel (juru pelihara) pada setiap situs juga terdapat agenda-agenda berkala. Keadaan situs pada saat penulis melakukan survey tepat pada kondisi juru pelihara tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, agenda perawatan tidak pada candi Kerobokan dan masyarakat yang tidak mengerti tentang pentingnya keberadaan situs sehingga Candi menjadi terbengkalai.
Setelah mengetahui hal tersebut maka agen arkeologi yaitu para akademisi dan peneliti disini harus sigap dalam menghadapi permasalahan pada setiap situs. Jika pemerintah dan instansi terkait pelestarian situs tidak mampu menjangkau secara menyeluruh keberadaan situs maka tugasnya masyarakat sebagai pewaris kebudayan itu sendiri yang berada paling dekat dengan situs harus dimanfaatkan serta dimaksimalkan. Kegiatan penyuluhan agar meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya warisan budaya harus digalakkan, agar tidak terjadi masalah dimana masyarakat tidak mengetahui tinggalan sejarah masa lalunya padahal hal tersebut sangat dekat dengan mereka.
Akses menuju situs merupakan aspek dasar yang harus diperbaiki, karena tanpa adanya akses yang baik, maka masyarakat akan sulit dalam melakukan perawatan terhadap situs. Pada Situs Candi Kerobokan, permasalahan terletak pada letak situs di seberang sungai dimana tidak terdapat jembatan penghubung dari sisi barat menuju sisi timur sehingga untuk mencapau lokasi masyarakat harus menyeberangi aliran sungai yang deras. Dalam hal ini yang diperlukan adalah adanya pembangunan jembatan penghubung. Dengan adanya pembangunan jembatan penghubung berarti harus ada dana yang dikeluarkan untuk membeli material-material yang diperlukan. Dalam UU No. 11 Tahun 2010 bab IX pasal 98 tentang pendanaan dikatakan bahwa pendanaan pelestarian Cagar Budaya menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Jadi semua pihak harus bergotong royong untuk membangun demi bangsa dan kepentingan bersama.
Penulis sebagai seorang akademisi mencoba mengamati pelaksanaan kegiatan pelestarian terhadap situs-situs arkeologi yang penting seperti Candi Kerobokan yang berada pada DAS Pakerisan yang merupakan wilayah penting tentang peradaban klasik kuno di Bali. Selain itu akademisi juga dapat dikatakan sebagai agen arkeologi yang dalam hal ini sebagai penyalur informasi kepada instansi terkait agar mengetahui kondisi setiap tanggung jawab yang mereka laksanakan apakah telah masimal atau tidak dan sosialisasi kepada masyarakat agar sadar betapa pentingnya tinggalan arkeologi sebagai tinggalan budaya sehingga masyarakat juga harus turut serta dalam pelestariannya.
Semua pihak dalam hal ini pemerintah, akademisi, peneliti maupun masyarakat harus aktif dalam menyikapi permasalahan-permasalahan arkeologi yang ada seperti pada Situs Cadi Kerobokan. Sehingga dalam pengelolaannya nanti Candi ini dapat dikembangkan lagi ke arah yang lebih bermanfaat misalnya dalam segi pariwisata budaya. Dengan akses yang baik, niscaya pengembanganpun akan berjalan lebih lancar.
Agen arkeologi merupakan penyalur informasi bagi pemerintah maupun masyarakat dalam mengkritisi setiap permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam dunia arkeologi. Seperti permasalahan yang terjadi pada Situs Candi Kerobokan dimana perawatan pelestariannya tidak berjalan dengan baik dan maksimal. Dalam hal ini diperlukan kesadaran dari berbagai pihak dalam memecahkan permasalahan tersebut seperti dengan cara membangun jembatan penyebrangan menuju lokasi candi. Dan selanjutnya setelah setiap akses dapat diperbaiki serta dibangun dengan baik maka pengembangan yang diharapkan adalah pegembangan dalam segi pariwisata sehingga dapat memberikan manfaat secara langsung bagi masyarakat.